![]() |
Tema yang kami pelajari adalah Menelusur Warisan Masa Lampau. Fokus pembahasannya adalah tentang Kearifan Lokal. |
[Jombang, Pak Guru
NINE] - Dalam dunia yang
berlari cepat, di mana budaya global melesat masuk tanpa batas, ada sesuatu
yang tetap bertahan dan memancarkan kehangatan, yakni kearifan lokal. Lewat sebuah survei sederhana kepada
33 siswa di SMAN 2 Jombang, tempat
saya mengajar, saya menemukan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar
jawaban, tapi
saya menemukan harapan.
Saya bertanya kepada mereka, "Apa
bentuk kearifan lokal yang kamu temui di wilayahmu? Bagaimana perasaanmu saat
mengetahui kearifan itu masih dijaga?" Jawaban mereka beragam, namun satu
benang merah yang jelas terbaca: rasa bangga, haru, dan tanggung jawab.
Banyak siswa menyebutkan gotong
royong sebagai kearifan lokal yang masih hidup di tengah masyarakat. Tidak
sekadar kerja bakti atau membantu saat ada hajatan, gotong royong lebih dalam
dari itu: ia adalah cerminan jiwa kolektif bangsa kita. Di tengah dunia yang
semakin individualistis, siswa-siswi ini merasa bangga melihat masyarakatnya
masih menjaga budaya ini. Gotong royong menjadi pengingat bahwa kekuatan sejati
sebuah komunitas bukan pada siapa yang paling hebat, melainkan pada bagaimana
mereka saling menopang.
Tradisi selametan, tedhak
siten, sedekah bumi, hingga nyadran muncul berulang kali
dalam jawaban para responden. Semua tradisi ini pada dasarnya adalah bentuk
rasa syukur, doa, dan penghormatan kepada Tuhan, alam, dan leluhur. Misalnya,
dalam tedhak siten, prosesi syukur atas langkah pertama seorang anak ke bumi
bukan hanya ritual kosong. Ia adalah simbol, bahwa setiap manusia harus tumbuh
dengan jejak nilai dan doa.
Salah satu siswa dengan antusias
menceritakan bagaimana tedhak siten di desanya masih dilakukan lengkap dengan
ritual menginjak ketan warna-warni, menaiki tangga, hingga memilih benda
simbolik. Perasaannya? "Senang dan bangga," katanya, "karena
artinya kita masih memegang nilai hidup dan tidak lupa pada akar budaya sendiri."
Tidak hanya tradisi upacara, kearifan
lokal juga hidup lewat kuliner seperti pecel, lodeh, dan melalui
kesenian seperti jaranan, wayang, hingga remo boletan.
Melalui makanan dan seni, identitas lokal menjadi sesuatu yang bisa dirasakan,
disentuh, dan dinikmati. Seorang siswa dengan bangga menulis bahwa ia kagum
pada batik khas Jombang dan tarian tradisional yang masih sering dipentaskan.
Ini bukti nyata bahwa kearifan lokal bukan hanya kenangan masa lalu, melainkan
napas yang terus dihirup generasi muda.
Antara Tradisi dan Globalisasi
Ada satu pengakuan jujur dari seorang
siswa yang pada awalnya menganggap tradisi seperti hari raya ketupat terdengar membosankan. Namun
seiring pemahaman yang lebih dalam, ia menyadari bahwa tradisi itu membawa
nilai kebersamaan yang tidak bisa ditukar dengan apapun. Ini mengajarkan kita
bahwa globalisasi memang bisa menggerus, tetapi dengan pendidikan dan pemaknaan
yang tepat, tradisi justru bisa menjadi benteng yang memperkaya identitas.
Menariknya, hampir seluruh siswa
mengungkapkan perasaan positif saat mengetahui bahwa kearifan lokal
masih dijaga. Mereka merasa bangga menjadi bagian dari komunitas yang melestarikan
budaya. Ada juga yang merasa haru, menyadari betapa dalamnya makna tradisi itu.
Tidak sedikit pula yang merasakan lahirnya kesadaran baru: bahwa mereka
sebagai generasi muda punya peran untuk terus menjaga dan menghidupkannya.
Ini penting. Perasaan bukan sekadar
emosi sesaat. Ia adalah dasar dari aksi. Ketika generasi muda merasa bangga dan
bertanggung jawab, maka peluang kita untuk mempertahankan kearifan lokal di
tengah badai perubahan menjadi jauh lebih besar.
Kearifan lokal bukan sekadar adat atau
kebiasaan. Ia adalah identitas. Ia mengajarkan nilai hidup: tentang
kerja sama, rasa syukur, harmoni dengan alam, penghormatan pada leluhur, dan
kebersamaan. Di tengah dunia yang kerap kehilangan makna karena terlalu sibuk
mengejar kecepatan, kearifan lokal mengajak kita untuk berhenti sejenak,
merenung, dan mengingat siapa kita.
Melestarikan kearifan lokal berarti
menjaga akar budaya yang membuat bangsa ini kokoh. Ia membentuk karakter
generasi muda yang berakar kuat namun mampu tumbuh tinggi, menjulang di era
modern dengan tetap membawa nilai luhur.
Penutup
Dari gotong royong hingga tari remo,
dari tedhak siten hingga selametan, semua warisan ini bukan sekadar ritual,
melainkan harta karun nilai yang harus dijaga. Survei kecil ini membuka mata
saya bahwa generasi muda masih peduli. Mereka tidak acuh. Mereka tahu bahwa apa
yang diwariskan bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk dirawat dan
diteruskan.
Maka tugas kita sebagai guru, orang
tua, dan anggota masyarakat bukan hanya mengajarkan makna kearifan lokal,
tetapi juga menghidupkannya dalam keseharian. Karena seperti kata pepatah,
bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai warisan budayanya. Dan dari
suara-suara penuh harapan para siswa ini, saya percaya: kita masih punya masa
depan yang berakar kuat dan berbunga indah.[pgn]
Nine Adien Maulana, Guru Fasilitator P5 SMAN 2 Jombang
0 Komentar