Sertifikat di Tepi Senin

 

Ada banyak cara yang bisa ditempuh oleh siapa saja untuk meraih prestasi sejati.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Setiap Senin pagi, lapangan hijau SMAN Angan-angan  menjadi panggung harapan. Seremoni upacara tak hanya tentang bendera dan pidato, melainkan juga tentang mimpi-mimpi yang dipanggil ke depan barisan, yaitu murid-murid yang namanya dielu-elukan karena prestasi mereka.

Pagi itu, seperti biasa, sorak-sorai terdengar ketika nama-nama siswa diumumkan. Tangan-tangan bertepuk, senyum-senyum merekah, kamera ponsel pun beraksi.

Namun dari barisan belakang, Naya berdiri kaku. Senyumnya tipis, tapi matanya lelah menyimpan harapan yang tak kunjung disambut. Ia belum pernah satu kali pun dipanggil ke depan. Teman-temannya bilang, ia terlalu “biasa”—tak pintar, tak atletis, tak juga seniman.

"Nay, kamu kenapa nggak ikut lomba kayak Livia? Dia minggu depan dapet penghargaan lagi, lho!" tanya Tasya, sahabat sekelasnya.

Naya hanya tersenyum pahit. "Aku pengin, Tas. Tapi... aku nggak tahu dari mana mulainya. Apa aku harus ikut les mahal juga kayak dia?"

Beberapa hari setelahnya, Naya mendatangi ruang guru. Di sana, Pak Nine, guru Pendidikan Agama Islam yang juga dikenal dekat dengan murid-murid, tampak sedang asyik mengetik dengan komputer jinjingnya.

"Pak, saya... ingin berprestasi. Tapi saya nggak tahu caranya. Bapak bisa bantu?"

Pak Nine menatapnya, lalu mengajaknya keluar dari ruang itu, kemudian duduk di taman jamur di depan ruang guru. Dengan nada hangat, ia menyampaikan, "Nak, tidak semua harus lewat akademik. Ada banyak jalan meraih prestasi. Coba cari yang kamu minati. Bisa non-akademik. Lalu, buktikan kamu bisa."

Naya pulang dengan harapan baru. Malam itu, ia berselancar di internet. Ia menemukan sebuah lomba menulis puisi online bertajuk "Youth Voice International Award". Logo berbahasa Inggris, pendaftaran mudah, dan yang lebih menarik: setiap peserta dijamin dapat sertifikat.

Tak pikir panjang, Naya ikut. Ia menulis puisi dari hatinya—tentang sunyi, tentang harap yang selalu ditunda. Seminggu kemudian, ia menerima email: “Selamat, Anda juara harapan!” Terlampir sertifikat elektronik dan link menuju barcode validasi.

Tangannya gemetar. Ia langsung mencetak sertifikat itu dan membawanya ke sekolah. Di hari Senin berikutnya, Naya akhirnya berdiri di depan barisan, menerima piagam apresiasi dari kepala sekolah. Tangannya dingin, tapi matanya bersinar.

Tasya memeluknya seusai upacara. "Akhirnya, Nay! Kamu berhasil!"

Naya hanya tersenyum sambil menatap sertifikat itu lagi. Tapi entah kenapa, hatinya terasa sedikit gamang.

..........

Seminggu setelahnya, Bu Isma sedang merekap prestasi siswa untuk keperluan laporan sekolah. Ia memeriksa satu per satu dokumen yang masuk. Saat tiba giliran milik Naya, matanya tertahan di bagian barcode. Ia lalu memindainya.

Bukan laman resmi yang muncul, melainkan link Google Drive yang berisi file PDF sertifikat atas nama Naya. Tak ada cap, tak ada tanda tangan yang jelas. Hanya sebuah logo sederhana dengan tulisan mirip buatan Canva.

Bu Isma menghela napas. Ia tahu ini bukan salah Naya sepenuhnya. Banyak event seperti ini bermunculan—menjual mimpi lewat prestasi instan. Ia pernah membaca; penyelenggara semacam itu hanya mengejar uang, bukan menguji kemampuan.

Ia memanggil Naya ke ruangannya.

"Naya, boleh bu Isma tanya sedikit soal lombanya?" tanyanya dengan lembut.

Naya mengangguk, wajahnya tegang. “Kenapa, Bu? Ada yang salah?”

“Tidak salah, hanya... Bu Isma ingin kamu tahu, tidak semua lomba online itu benar-benar kredibel. Yang kamu ikuti ini, tampaknya bukan dari lembaga resmi.”

Naya tertunduk. "Tapi... saya cuma pengin dihargai, Bu. Saya ingin Ayah dan Ibu saya lihat saya di depan. Saya ingin teman-teman saya berhenti bilang saya bukan siapa-siapa..."

Sunyi menggantung sejenak.

Bu Isma bangkit, lalu duduk di sampingnya.

“Naya, Ibu bangga kamu berani melangkah. Tapi prestasi sejati itu bukan soal seberapa cepat kamu diakui, tapi seberapa jujur kamu dalam prosesnya. Jangan sampai kita memilih jalan pintas yang ternyata membawa kita ke tempat yang salah.”

Mata Naya basah. “Lalu... saya harus bagaimana, Bu?”

“Mulai lagi. Tapi kali ini, ikut lomba yang benar-benar menguji kemampuanmu. Ibu bantu cari. Tapi kamu juga harus siap berusaha lebih keras.”

Naya mengangguk. Meski kecewa, hatinya terasa lebih ringan. Ia merasa dihargai bukan karena piagam, tapi karena niat dan keberaniannya untuk berubah.

..........

Bulan berganti. Naya bergabung di ekskul jurnalistik, belajar menulis berita, esai, dan puisi secara mendalam. Ia juga mengikuti lomba menulis yang diselenggarakan Balai Bahasa Jawa Timur. Kali ini, ia tak buru-buru berharap menang. Ia hanya ingin belajar yang benar.

Tiga bulan kemudian, pengumuman itu datang. Puisi Naya masuk lima besar. Ia diundang ke Surabaya untuk pembacaan karya. Dengan suara gemetar tapi lantang, ia membaca puisi tentang kejujuran dan harapan. Penonton berdiri memberikan tepuk tangan panjang.

Senin berikutnya, namanya kembali dipanggil ke depan. Tapi kali ini, sertifikatnya dari lembaga resmi, barcode-nya valid, dan capnya timbul mengkilap. Ia menerima penghargaan bukan dengan rasa ragu, tapi dengan bangga yang jujur.

Sore harinya, ia menulis status di feed Instagramnya:

"Ternyata, bukan sertifikatnya yang membuatku dihargai. Tapi prosesku. Rasa malu karena ingin pengakuan instan, kini telah berubah jadi semangat untuk tumbuh. Aku ingin jadi contoh bahwa tidak ada kemenangan sejati tanpa kejujuran."

..........

Kini, tiap Senin pagi, saat nama-nama dipanggil, Naya duduk di barisan dengan perasaan berbeda. Ia tak lagi iri, tak lagi gelisah. Ia tahu, semua orang punya waktunya. Tapi yang terpenting, setiap langkah harus dilalui dengan benar, walau perlahan.

Dan di suatu pagi, ia menepuk pundak juniornya yang tampak murung.

“Kamu belum pernah dipanggil ke depan, ya?”

Junior itu mengangguk lemah.

Naya tersenyum, “Mau aku ajari cara berprestasi yang benar?”

..........

Pesan Moral: Prestasi bukan tentang siapa yang cepat diakui, melainkan siapa yang jujur dalam berproses. Di balik setiap sertifikat, harus ada integritas. Karena hanya prestasi sejati yang bisa bertahan, bahkan ketika panggung upacara telah usai.[pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Guru Penggerak Angkatan 9 tahun 2024 


Posting Komentar

0 Komentar