Santri Berkarya Meski Sederhana

Antologi Cerpen para santri ini patut diapresiasi sebagai bagian belajar berkarya literasi. 

 

[Jombang, Pak Guru NINE] - Ketika sebuah pesan WhatsApp masuk dari nomor asing, saya awalnya mengira itu hanya pesan biasa. Ternyata, yang menghubungi saya adalah seorang santri dari Asrama Hidayatul Quran, Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso, Jombang—tempat putri saya juga menimba ilmu di sana. Dengan sopan dan penuh rasa segan, ia meminta kesediaan saya untuk membuat kata pengantar sebuah buku antologi cerpen karya komunitas mereka, Komunitas Sastra Akar Jati.

Jujur saja, saya sempat bimbang. Saya bukan kritikus sastra, bukan pula akademisi di bidang literasi. Saya hanyalah wali santri biasa, yang kebetulan menyukai puisi dan cerpen. Tapi setelah membaca permintaan mereka—dan lebih penting lagi, setelah membaca karya-karya yang mereka tulis—hati saya luluh.

Ada satu hal yang saya yakini: keberanian untuk memulai sesuatu, sekecil apapun, selalu layak untuk dihargai.

Maka saya membuka file antologi itu. Di dalamnya, saya menemukan lebih dari 20 cerpen karya para santri muda, lengkap dengan pengenalan diri mereka yang begitu jujur dan sederhana. Ada yang malu-malu menulis tentang dirinya, ada yang bercanda tentang hobi, bahkan ada yang mengaku lebih suka sunyi ketimbang keramaian. Semua itu memperlihatkan satu hal: mereka menulis dari hati, bukan dari ambisi.

Karya-karya mereka mungkin belum sempurna. Tata letaknya masih berantakan, struktur ceritanya kadang meloncat, dan pilihan katanya terkadang terasa naif. Namun siapa peduli? Karena yang mereka tawarkan bukan sekadar cerita, melainkan cermin dari dunia batin yang jujur, polos, dan penuh gairah hidup.

Misalnya, Rakha Ramiro lewat cerpennya "Pentas Terakhir" mengajak pembaca merenungi arti perjalanan hidup. Brian Akromul, dalam "Janji dalam Secangkir Kopi," menanamkan kembali semangat nasionalisme dan idealisme lintas generasi. Ahmad Faiq Dzikry menggugah kepekaan sosial lewat "Uang Saku," sementara Kindy menyayat hati dengan kisah pengorbanan seorang ayah dalam "Secarik Padi di Punggung."

Di balik setiap cerita itu, saya membaca lebih dari sekadar fiksi. Saya membaca keberanian untuk meraba kehidupan dengan pena. Saya membaca kegelisahan, harapan, ketulusan, bahkan luka-luka kecil yang kadang tidak sempat diungkapkan dalam percakapan sehari-hari. Menulis bagi mereka adalah bentuk lain dari doa, dari ikhtiar untuk tidak tenggelam begitu saja dalam arus zaman.

Tentu, tidak semua orang akan menganggap karya-karya ini layak disebut karya sastra. Akan ada yang mencibir, mengomentari kekurangan teknis, atau membandingkannya dengan karya-karya penulis besar. Tapi saya berani berkata: justru di dalam ketidaksempurnaan inilah terletak nilai paling murni dari sebuah proses kreatif.

Karena sejatinya, berkarya itu bukan soal siapa yang paling hebat. Berkarya adalah tentang keberanian untuk mengungkapkan isi hati, tentang kesediaan untuk dipahami—atau bahkan disalahpahami. Dan, para santri ini telah melangkah lebih jauh daripada banyak orang yang hanya berani mengkritik tanpa pernah mencoba.

Saya yakin, antologi ini hanyalah awal. Mungkin hari ini mereka masih berlatih menulis cerita sederhana. Tapi siapa tahu, suatu hari nanti, di antara nama-nama mereka akan lahir penulis besar yang mampu mengguncang dunia literasi Indonesia? Atau mungkin, lebih dari itu, mereka menjadi manusia-manusia yang peka, bijaksana, dan mampu membaca dunia dengan hati yang tajam—sebuah kualitas yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan.

Menulis tidak hanya soal menghasilkan karya. Menulis adalah proses berpikir. Proses mengolah emosi, mencari makna, dan belajar memahami diri sendiri serta dunia di sekitar. Dalam setiap kalimat yang mereka susun, para santri ini sebenarnya sedang menempa diri menjadi pribadi-pribadi reflektif dan visioner.

Inilah yang membuat saya bersemangat menerima permintaan mereka. Karena saya tahu, dukungan kecil seperti ini mungkin tampak sepele, tapi bisa menjadi bahan bakar yang membakar semangat mereka untuk terus melangkah. Dukungan yang mungkin membuat satu dua dari mereka berani bermimpi lebih tinggi, berani percaya bahwa suaranya layak untuk didengar.

Saya ingin mengatakan kepada mereka: jangan pernah takut berkarya. Jangan pernah takut salah. Karena kesalahan adalah bagian dari perjalanan. Setiap penulis besar pernah menulis karya buruk. Setiap pemahat ulung pernah menghasilkan patung yang retak. Tapi mereka tidak berhenti. Mereka terus belajar, terus memperbaiki diri, terus melangkah.

Dan kepada kita, para pembaca, mari kita belajar untuk lebih murah hati dalam mengapresiasi. Bukan dengan pujian kosong, tapi dengan kejujuran yang penuh semangat membangun. Membaca karya-karya ini bukan untuk mencari kesempurnaan, melainkan untuk menangkap nyala semangat di balik setiap kata.

Semangat yang barangkali lebih murni dari apa pun: semangat untuk bermimpi, untuk berjuang, dan untuk tumbuh.

Maka biarkanlah mereka terus menulis. Biarkan mereka menemukan suara mereka sendiri. Biarkan mereka jatuh, bangkit, dan melukis dunia mereka dengan kata-kata.

Karena dunia ini butuh lebih banyak suara jujur. Dan saya percaya, suara itu tengah bertunas di halaman-halaman sederhana antologi ini.[pgn]

Posting Komentar

0 Komentar