![]() |
Kolaborasi guru dan murid SMAN 2 Jombang saat memproduksi film pendek dalam rangka apresiasi guru di Hari Guru Nasional 2024. |
[Jombang, Pak Guru
NINE] - Selasa, 25 Maret 2025, suasana hati para guru Pendidikan Agama Islam di
Sekolah (PAIS) di wilayah kabupaten Jombang mendadak berbunga. Setelah sekian
waktu menanti kejelasan, transfer Tunjangan Profesi Guru (TPG) Januari-Februari
akhirnya masuk ke rekening mereka. Namun, kegembiraan itu tak berlangsung lama.
Selang beberapa menit, ada transfer kedua masuk. Jumlahnya setengah dari
transfer sebelumnya. “Alhamdulillah,” gumam banyak guru. Mungkin inilah
Tunjangan Hari Raya (THR) yang selama ini dinanti.
Namun tak lama
berselang, muncul pesan mengejutkan di grup WhatsApp: “Mohon tidak mengambil
dana yang baru masuk. Itu adalah kesalahan teknis pembayaran TPG THR. Harap
segera dikembalikan ke kas negara.”
Seakan tersambar
petir di siang bolong, hati para guru terhenyak. Dana yang baru saja mereka
syukuri, harus dikembalikan. Tapi bukan itu yang paling menyakitkan.
Kisah ini memang
tampak sederhana. Sebuah kesalahan transfer, lalu klarifikasi, dan permintaan
pengembalian dana. Tapi jika ditelisik lebih dalam, di situlah Allah SWT menyingkap
tirai panjang ketidakadilan yang selama ini menyelimuti para guru PAIS di seluruh
Indonesia. Kesalahan ini bukan sekadar teknis, tetapi seperti isyarat Tuhan
yang penuh makna: “Lihatlah, ada luka yang terlalu lama didiamkan.”
Kita tahu, guru
PAIS bukanlah guru biasa. Mereka bukan hanya pengajar mata pelajaran, tetapi
penjaga ruhani di ruang-ruang kelas. Mereka adalah imam kecil di sekolah, yang
memulai pagi dengan doa, menyapa siswa dengan salam, membimbing akhlak dan
spiritualitas peserta didik dalam diam dan kelembutan. Tapi ironisnya, mereka
seringkali justru menjadi warga kelas dua dalam sistem pendidikan nasional
kita.
Mari kita tengok
kembali tahun lalu. Ketika pemerintah mencairkan THR dan Gaji ke-13 untuk semua
ASN, para guru PAIS seperti biasa kembali terlewat. Alasannya klasik: tidak ada
kejelasan siapa yang bertanggung jawab. Kementerian Agama menyatakan tidak
memiliki kewenangan karena gaji mereka bersumber dari APBD. Di sisi lain, Dinas
Pendidikan Daerah pun merasa tidak punya kewajiban, karena Tunjangan Profesi
Guru (TPG) ada di bawah Kemenag. Alhasil, Guru PAI menjadi anak yang kehilangan
rumah.
Dan tahun ini,
“kesalahan teknis” itu datang lagi, namun kali ini membawa pesan yang lebih
besar: Ini bukan lagi soal salah transfer. Ini tentang salah urus yang
sistemik.
Namun, kita tidak
boleh hanya larut dalam keluhan. Justru dari peristiwa ini, kita menemukan
energi baru. Ada harapan yang menyelinap di balik kecewa, ada kesadaran
kolektif yang tumbuh dari luka. Bahwa ini saatnya guru PAIS bangkit bukan untuk
melawan, tetapi untuk memperjuangkan haknya dengan cara yang elegan, beradab,
dan terstruktur.
Langkah DPP AGPAII
yang menyampaikan aduan resmi kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, yang
kemudian diteruskan hingga Kementerian Keuangan, adalah satu bentuk perjuangan
itu. Dari situ pula kita mendapat konfirmasi resmi: bahwa sesuai PP Nomor 14
Tahun 2024, THR dan Gaji ke-13 memang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah
dan dapat dibayarkan dari APBD sesuai kemampuan fiskal daerah.
Maka pertanyaannya
bukan lagi siapa yang salah?, tetapi siapa yang mau peduli? Dan inilah momen di
mana kita mengajak para pemangku kebijakan untuk tidak hanya melihat para guru
PAIS sebagai angka dalam data EMIS atau Dapodik, tetapi sebagai manusia yang
punya kontribusi nyata dalam pendidikan karakter bangsa.
Survei yang
dilakukan oleh Pak Guru NINE terhadap 40 guru PAIS membuktikan bahwa luka itu
bukan hanya ada di Jombang. Ketidakjelasan status kelembagaan, tumpang tindih
birokrasi antara Kemenag dan Kemendikdasmen, beban administrasi ganda, hingga
ketimpangan kesejahteraan adalah problem nasional. Kata “anak tiri”,
“dilempar-lempar”, “punya dua bapak tapi telantar” bukan lagi metafora
hiperbolik. Itu adalah narasi nyata dari ratusan ribu guru PAI di penjuru
negeri.
Namun di balik
semua itu, kita harus tetap percaya bahwa perjuangan ini bukan sia-sia. Karena
yang diperjuangkan bukan sekadar uang, tapi marwah dan pengakuan. Kita tidak
sedang meminta belas kasihan. Kita hanya menuntut keadilan dalam sistem yang
seharusnya inklusif.
Kepada para
pengambil kebijakan, kami ingin mengatakan: para guru PAIS bukan sekadar
pelengkap di kurikulum. Kami adalah penjaga nilai. Jangan biarkan kami terus
berdiri di dua perahu yang berbeda, satu kaki di Kemenag, satu lagi di
Kemendikdasmen, sementara kami tercebur dalam ketidakpastian.
Kami memohon agar
segera dibuat regulasi tunggal yang mengatur dengan jelas status, hak, dan
kewajiban guru-guru PAIS. Satukan data, sederhanakan sistem, setarakan hak.
Jangan biarkan guru agama justru merasa tidak dianggap dalam negara yang
menjunjung tinggi nilai ketuhanan.
Akhirnya, kepada
seluruh guru PAIS di manapun berada, mari kita ubah kekecewaan ini menjadi
semangat. Mari kita jadikan luka ini sebagai bahan bakar perjuangan. Karena
sejarah selalu berpihak pada mereka yang bersabar namun tak berhenti bergerak.
Jika tahun ini
kita gagal mendapat THR karena sistem yang tak berpihak, maka tahun depan kita
harus pastikan bahwa tidak ada lagi guru PAIS yang menangis diam-diam di bulan
Ramadan.
Ya, mungkin Tuhan
memang sedang mempermalukan birokrasi melalui “kesalahan teknis transfer”. Tapi
percayalah, itu cara indah-Nya untuk menyingkap kebenaran dan menyatukan
kekuatan.
Dan seperti kata
bijak: Kadang, Tuhan tidak langsung mengabulkan harapan kita, karena Ia sedang
menyiapkan hadiah yang lebih besar: kesadaran kolektif untuk bangkit, bergerak,
dan menjemput perubahan. [pgn]
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Guru Penggerak Angkatan 9 tahun 2024
Baca juga!
5 Komentar
Alhamdulillah dengan adanya PP no 14 tahun 2024 telah memberikan kejelasan tentang siapa yang seharusnya membayar THR dan gaji 13. Semoga ini segera terselesaikan.
BalasHapusSubhanalloh. Tak terasa airmata saya bergulir hanyut dalam perasaan tak berkurang sedikitpun yang pak guru tulis persis yg kita rasakan selama ini. Smga Alloh senantiasa memudahkan ihtiyar kita. Aamiin
BalasHapusMasyaAllah, terima kasih atas doanya, Bu/Pak. Semoga Allah senantiasa menguatkan langkah kita bersama dalam memperjuangkan keadilan dan keberkahan bagi para guru. Aamiin.
HapusAlhamdulillah, benar sekali. Terbitnya PP No. 14 Tahun 2024 menjadi angin segar bagi para guru, khususnya Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah negeri, yang selama ini sering berada dalam posisi abu-abu terkait hak-hak kepegawaiannya. Kejelasan mengenai pihak yang bertanggung jawab membayar THR dan gaji ke-13 sangat penting demi kepastian hukum dan keadilan bagi para pendidik.
BalasHapusSemoga implementasinya juga sejalan dengan semangat regulasi ini, tidak hanya berhenti di atas kertas, tapi benar-benar dirasakan manfaatnya oleh para guru. Kita berharap semua pihak, baik Kementerian Agama maupun Pemerintah Daerah, dapat bersinergi dan segera menyelesaikan proses administratif dan teknisnya dengan cepat dan tepat. Ini bukan hanya tentang tunjangan semata, tapi tentang penghargaan terhadap jasa dan dedikasi guru dalam mencerdaskan bangsa.
PP no 14 tahun 2024 terbit, tapi tahun 2025 kok belum terealisasi? Ada salah transfer segala?!.
BalasHapus