Raperda PPAKK Belum Tuntas

 

Perempuan dan anak berhak hidup aman—hukum harus jadi pelindung, bukan sekadar tulisan.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Senin siang, 14 April 2025, yang biasa, saya tiba-tiba merasa ingin tahu sesuatu yang ternyata cukup luar biasa. Awalnya, saya mengira bahwa Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pelindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan (PPAKK) di Kabupaten Jombang sudah disahkan. Dengan asumsi itu, melalui grup whatsapp NU Jombang, saya pun memberanikan diri meminta soft-filenya agar bisa saya baca dan pelajari lebih lanjut. Bukan tanpa alasan, saya memang punya sedikit perhatian terhadap isu-isu gender dan perlindungan perempuan.

Perhatian itu bukan datang tiba-tiba, melainkan bertumbuh sejak saya menjadi mahasiswa di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di sana, saya cukup aktif dalam diskusi dan kajian seputar gender, baik dalam perspektif sosial maupun dalam studi Islam. Pengalaman tersebut membuat saya memiliki semacam kepekaan, semacam dorongan moral, bahwa isu-isu tentang perempuan dan anak bukanlah isu pinggiran yang bisa diabaikan begitu saja.

Tak lama setelah permintaan saya, saya mendapat balasan dari Mas Yon—alias Pak Kartiyono—anggota DPRD Jombang dari Fraksi PKB. Beliau membagikan file Raperda itu di dalam grup whatsapp itu, sekaligus memberi tahu bahwa dokumen tersebut masih dalam tahap rancangan. Artinya, DPRD Jombang belum mengesahkannya secara resmi karena masih menunggu hasil konsultasi public dari berbagai pihak. Mendengar itu, saya langsung tertarik untuk membacanya lebih serius. Mungkin, pikir saya, saya bisa memberi sedikit masukan. Barangkali suara kecil ini bisa turut memperkaya isi kebijakan yang begitu krusial bagi masa depan perempuan dan anak-anak di Jombang.

Dari hasil pembacaan saya, saya menemukan banyak hal positif dalam Raperda ini. Misalnya, dari sisi landasan hukum, Raperda PPAKK merujuk pada banyak regulasi nasional yang relevan—dari UUD 1945, UU TPKS, hingga Perpres terbaru. Ini penting, karena legitimasi hukum adalah fondasi awal yang harus kokoh. Kemudian dari segi pendekatan perlindungan, Raperda ini tampak cukup holistik. Tak hanya menangani korban, tapi juga mencakup pencegahan, pemulihan, hingga reintegrasi sosial.

Saya juga mengapresiasi keberanian Raperda ini dalam menyebut peran lintas sektor secara eksplisit—masyarakat, keluarga, lembaga agama, hingga dunia usaha—semuanya disebut sebagai aktor penting dalam upaya pencegahan kekerasan. Tak kalah penting, pendekatan berbasis korban juga menjadi nafas utama dari dokumen ini, dengan layanan yang mencakup aspek medis, psikologis, hukum, dan spiritual. Dan satu hal yang patut diapresiasi: penegasan kewajiban penguatan UPTD PPA, sebagai garda terdepan penanganan kasus-kasus kekerasan.

Namun, tentu tak ada gading yang tak retak. Dalam dokumen ini pun, saya menemukan beberapa celah yang sebaiknya mendapat perhatian sebelum Raperda ini benar-benar disahkan. Salah satunya adalah belum adanya mekanisme penanganan khusus untuk kekerasan berbasis siber. Meskipun ada penyebutan soal konten bermuatan seksual, tetapi belum ada sistem perlindungan yang konkret terhadap korban revenge porn, doxing, atau kekerasan digital lainnya.

Kekurangan lain yang cukup mencolok adalah ketiadaan sanksi administratif bagi instansi atau pejabat publik yang abai menangani laporan korban. Tanpa sanksi, bisa jadi regulasi ini kehilangan taringnya. Selain itu, pasal tentang edukasi masyarakat masih terlalu umum, belum ada petunjuk operasional seperti kurikulum, metode, atau siapa yang akan menjalankan. Dan terakhir, tak ada penekanan khusus pada kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, migran, atau pekerja informal yang seringkali mengalami kekerasan berlapis.

Sebagai bentuk kontribusi kecil, saya ingin menyampaikan beberapa usulan perbaikan. Pertama, perlu ditambahkan satu bab khusus tentang kekerasan digital dan teknis penanganannya—tentu dengan melibatkan Dinas Kominfo, Unit Cyber Crime, dan NGO digital safety. Kedua, sanksi administratif bagi pejabat publik yang lalai sebaiknya dimasukkan agar ada efek jera. Ketiga, untuk strategi edukasi, saya usulkan agar modul pendidikan berbasis usia, gender, dan budaya lokal menjadi kewajiban yang disusun bersama Dinas Pendidikan, Kemenag, dan ormas keagamaan.

Agar implementasi Raperda ini tidak mandek di tengah jalan, beberapa hal perlu segera dipikirkan. Di antaranya adalah percepatan lahirnya Peraturan Bupati yang memuat SOP, standar layanan, anggaran, dan pelibatan lembaga lokal. UPTD PPA juga harus diperkuat dari segi SDM—melibatkan ahli hukum, psikolog, sosiolog, dan fasilitator lokal dengan pendekatan kultural yang tepat.

Tak kalah penting adalah digitalisasi layanan, seperti pengembangan aplikasi pelaporan online dan sistem pelacakan kasus. Di Jombang, yang dikenal sebagai kota santri, tentu saja pesantren harus dilibatkan aktif dalam edukasi dan deteksi dini terhadap kekerasan. Kolaborasi juga harus dijalin dengan lembaga nasional seperti LPSK, Komnas Perempuan, dan Komnas HAM.

Akhir kata, saya harus mengakui bahwa Raperda PPAKK ini adalah langkah maju yang patut diapresiasi, tapi juga mesti dikritisi agar tidak hanya indah di atas kertas. Sebab yang kita bicarakan di sini bukan sekadar hukum, tapi nyawa, harga diri, dan masa depan mereka yang kerap menjadi korban dalam sunyi.

Semoga suara kecil ini bisa menjadi bagian dari gema yang lebih besar demi Jombang yang ramah perempuan dan anak, dan lebih manusiawi bagi semua.[pgn]

Nine Adien Maulana, Guru PAI SMAN 2 Jombang-Guru Penggerak Angkatan 9 tahun 2024

 

Baca juga!

Membangun Kesetaraan dan Perlindungan Perempuan

Menjaga Perempuan, Menjaga Peradaban


Posting Komentar

0 Komentar