![]() |
Ini adalah pertanyaan besar yang sedang bergelayut dalam benak saya. |
[Jombang, Pak Guru
NINE] - Setiap Senin pagi di
SMAN 2 Jombang, suasana di lapangan hijau selalu terasa istimewa. Selain
upacara bendera, ada satu momen yang ditunggu-tunggu, yakni seremoni apresiasi bagi para murid yang berprestasi.
Bukan sekadar formalitas, apresiasi itu menjadi simbol betapa sekolah ini
menghidupkan semangat berkompetisi dan belajar. Rasanya hampir tak pernah
absen, tiap pekan selalu ada saja murid yang tampil di depan, menerima
penghargaan atas prestasi di bidang akademik maupun non-akademik, dari tingkat
lokal, regional, nasional,
hingga lintas negara.
Sebagian besar murid SMAN 2 Jombang
memang memiliki semangat belajar dan berprestasi yang tinggi. Mereka aktif
mengikuti les tambahan belajar,
mengasah kemampuan di luar jam pelajaran, dan terus mencari panggung untuk
menunjukkan bakatnya. Ada yang berjuang di olimpiade sains, ada yang tampil di
kejuaraan olahraga, bahkan ada pula yang menekuni seni, teknologi, atau
literasi. Tidak sedikit pula yang mengukir prestasi gemilang, membanggakan nama
sekolah dan keluarga.
Namun di balik kilau piala dan
sertifikat yang semakin banyak, saya mulai melihat satu fenomena yang mengusik.
Ada murid-murid yang merasa "tertinggal" karena belum pernah
sekalipun tampil di depan saat seremoni upacara. Mereka datang menemui saya,
bercerita dengan nada sedih dan penuh harap, meminta nasihat bagaimana caranya
agar bisa dikenal, diperhitungkan, dan diapresiasi seperti teman-temannya.
Saya katakan kepada mereka, memperbaiki
diri itu sangat mungkin. Tetapi jika ingin mengejar teman-teman yang sudah
bertahun-tahun mengasah prestasi akademik, itu butuh perjuangan ekstra keras
dan waktu yang panjang.
Jujur saja, saya ragu mereka bisa
menyaingi dalam waktu singkat. Maka saya sarankan, carilah jalur lain: raihlah
prestasi di bidang non-akademik. Ada banyak peluang di luar sana yang bisa
mereka ikuti sesuai minat dan bakat. Kalau berhasil jadi juara, laporkan ke
sekolah.
Dengan begitu, dalam sekejap, nama
mereka bisa terangkat dan mereka pun mendapat kesempatan berdiri di lapangan
hijau menerima apresiasi. Sebuah titik balik yang sangat mungkin.
Beberapa murid mengikuti saran itu.
Saya melihat perubahan positif dalam diri mereka. Semangat mereka menyala.
Mereka lebih percaya diri, lebih disiplin, dan mulai dikenal bukan karena
kenakalan atau ketidaktertiban, tetapi karena prestasi. Saya merasa bangga.
Namun, seiring berjalannya waktu, saya
juga mulai menyadari ada hal yang perlu diwaspadai. Saya menemukan ada murid yang membawa
sertifikat juara yang, saat saya perhatikan lebih teliti, tampak meragukan.
Bukan karena saya iri atau tidak percaya kepada kemampuan mereka, melainkan
karena secara obyektif ada kejanggalan yang terlalu mencolok. Misalnya, di
sertifikat itu tidak tercantum dengan jelas siapa lembaga penyelenggaranya. Hanya ada tanda tangan dan sebuah barcode; tidak ada stempel resmi atau legalitas lain yang
lazimnya ada pada sertifikat resmi.
Saya pun mencoba memindai barcode yang
tertera. Sayangnya, bukan informasi valid yang muncul, melainkan hanya link
menuju file di Google Drive. Ini tentu mengundang tanda tanya besar. Sebuah
sertifikat resmi mestinya memiliki verifikasi barcode yang ketika dipindai akan
menampilkan data dari server resmi penyelenggara, bukan sekadar file digital
yang bisa dibuat siapa saja.
Beda sekali rasanya saat saya memindai
barcode dari sertifikat Olimpiade Sains Nasional yang benar-benar resmi. Di
sana, saat discan, muncul pernyataan validasi langsung dari pusat prestasi
nasional, lengkap dengan data kegiatan, nama pemenang, hingga informasi unduhan
sertifikat itu. Ada perasaan tenang dan yakin saat melihat sertifikat asli
seperti itu.
Fakta ini membuat saya sadar bahwa di
era digital seperti sekarang, prestasi juga bisa dipalsukan. Ada banyak event
yang diselenggarakan oleh event organizer tidak kredibel, yang
semata-mata mencari keuntungan finansial dari peserta. Mereka menggelar lomba
online, mengadakan awarding di hotel mewah, lalu meminta peserta membayar biaya
besar untuk mendapatkan gelar juara. Ada juga yang mengatasnamakan lembaga luar
negeri padahal fiktif. Modus lain bahkan hanya memberikan gelar-gelar duta atau
penghargaan khusus yang tidak pernah benar-benar diuji secara obyektif.
Apakah ini salah sepenuhnya di pihak murid?
Tidak juga. Sebagian besar mereka mungkin tidak paham perbedaan antara prestasi
asli dan prestasi rekayasa. Sebagian lagi mungkin terlalu tergiur dengan
kemudahan untuk diakui dan dipuji. Mereka hanya ingin dikenal lebih baik,
seperti teman-temannya yang sering tampil di lapangan hijau. Dan di sisi lain,
sebagian orang tua, yang kondisi ekonominya cukup mapan, mungkin tak segan
membayar biaya besar demi melihat anaknya mendapat piagam atau piala, tanpa
benar-benar mengecek legalitas acaranya.
Oleh sebab itu, sudah saatnya kita,
baik guru, orang tua, maupun murid, lebih cerdas dan kritis menyikapi fenomena
ini. Saya tetap mendukung penuh setiap usaha murid untuk berprestasi, asalkan
dengan cara yang benar. Kita harus membangun budaya kejujuran dan kritis dalam
meraih prestasi. Jangan sampai demi mendapat pengakuan sesaat, kita justru menjadi korban oleh pihak-pihak yang
hanya ingin mendapatkan keuntungan finansial; atau mengorbankan nilai-nilai integritas
yang jauh lebih penting dalam jangka panjang.
Bagi pihak sekolah, penting untuk
melakukan verifikasi sebelum memberikan apresiasi resmi atas prestasi murid.
Sertifikat perlu diperiksa dengan cermat: lihat siapa penyelenggaranya, cek
keaslian cap dan tanda tangan, dan jangan mudah percaya hanya karena ada
barcode. Semua harus didasari oleh sikap profesional dan obyektif, demi menjaga
nama baik sekolah dan membangun karakter murid dengan fondasi yang kuat.
Prestasi itu harus menjadi bukti nyata dari kerja keras, ketekunan, dan kejujuran. Bukan sekadar piala kosong yang dibeli mahal-mahal. Maka mari kita ajarkan kepada anak-anak kita bahwa lebih baik terlambat mendapatkan prestasi asli daripada cepat mendapat pengakuan semu. Karena di dunia nyata nanti, hanya prestasi yang sejati yang akan membawa mereka melangkah lebih jauh.[pgn]
Nine
Adien Maulana, GPAI
SMAN 2 Jombang-Guru Penggerak Angkatan 9 tahun 2024
0 Komentar