Merawat Cinta Kekeluargaan

 

Sesi foto bersama menjadi penyempurna kebersamaan Keluarga Besar Bani H. Sholeh.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Di tengah zaman yang serba cepat dan kadang terasa asing, ada satu hal yang tak lekang oleh waktu, yakni kebersamaan keluarga besar. Itulah yang kami rayakan; bukan hanya sebagai ritual tahunan, tapi sebagai pernyataan cinta, sebagai warisan nilai, dan sebagai cara merawat warisan silaturahmi. Lebaran kali ini, selepas shalat Idul Fitri di Masjid Baitul Muslimin, rumah kami, keluarga Nine Adien Maulana, menjadi saksi hidupnya acara sederhana namun bermakna, yakni makan-makan bersama Keluarga Besar Bani Haji Sholeh.

Tanpa protokoler. Tanpa pidato. Tanpa dekorasi yang menghiasi. Begitu salam terakhir dikumandangkan dalam shalat Id di masjid itu, satu per satu anggota keluarga langsung mengalir menuju rumah yang berdiri tepat di depan masjid. Sambutan hangat, saling peluk dan ucapan maaf-memaafkan menjadi gerbang pembuka kebersamaan. Tak perlu aba-aba—seolah-olah hati kami telah saling terpanggil untuk berkumpul kembali dalam bingkai yang sama, yakni keluarga besar.

Apa yang membuat momen ini istimewa bukan hanya banyaknya makanan yang tersaji. Tapi lebih dari itu, yang membuat momen ini bermakna adalah hadirnya keluarga yang selama ini terpisah waktu, dan kesibukan masing-masing. Meskipun belum semuanya bisa mengumpul, namun kali ini, kami bisa berkumpul dalam kegembiraan. Anggota keluarga besar bani H. Sholeh yang bisa berkumpul pada acara ini adalah Keluarga Dewi Alfiyah, Keluarga Nine Adien Maulana, Keluarga Rista Farida, Keluarga Yudhi Rahmana Hakim, Keluarga Yani Rahmawati, Keluarga Widayah, Keluarga Fatimah, Keluarga Alm. Abdul Fatah (Lilik Wuryani), Keluarga Dewi Jamilah, Keluarga Sholikul Hadi, Keluarga Samsul Hudah, Keluarga Urifah Tussalamah, dan Keluarga Yustisia Fajarsari.

Ruang tamu berubah menjadi ruang nostalgia. Anak-anak berlarian di halaman, tertawa, dan menyatu dalam canda. Para orang tua berbincang ringan, membagikan cerita kehidupan, dan membangun kembali semangat kebersamaan sambil makan-makan sederhana dalam suasana lesehan. Tidak ada jarak. Tidak ada sekat. Hanya ada rasa: bahwa kita saling memiliki.

Sesi dokumentasi pun tak kalah semarak. Kamera ponsel silih berganti memotret wajah-wajah yang berbinar. Ada yang berpose kompak, ada pula yang spontan dengan gaya khas masing-masing. Video ucapan Idul Fitri, swafoto keluarga, hingga momen candid saat tawa pecah—semuanya menjadi jejak digital dari sesuatu yang lebih dalam: rasa syukur dan kehangatan.

Apa yang kami lakukan bukan sekadar makan bersama. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap lunturnya nilai-nilai kekeluargaan. Ini adalah upaya sadar untuk menjaga ikatan, mempererat simpul-simpul yang mungkin mulai longgar oleh waktu. Ini adalah pengingat bahwa keluarga bukan hanya tentang darah, tapi juga tentang kehadiran, perhatian, dan keikhlasan untuk terus terhubung.

Kami percaya, tradisi ini harus terus dijaga. Bukan untuk dikenang saja, tapi untuk dihidupkan. Karena dari sinilah anak-anak kita belajar tentang makna pulang, tentang pentingnya silaturahmi, dan tentang rasa memiliki yang tidak tergantikan oleh apapun.

Kepada siapa pun yang membaca kisah ini, izinkan kami mengajak: jangan biarkan Lebaran berlalu tanpa makna. Gunakan momen ini untuk menguatkan kembali hubungan keluarga. Mari kita jadikan rumah kita menjadi tempat pulang. Karena ketika keluarga bersatu, tidak ada yang lebih indah dari itu—sebuah kekuatan yang tidak hanya menghangatkan, tapi juga menguatkan.

Mari, kita hidupkan lagi tradisi. Kita rawat cinta ini, bersama dalam kekeluargaan yang hangat, guyup, kompak dan sejahtera. [pgn]runinee

Posting Komentar

0 Komentar