Mashlahah Maqashidiyyah: Kunci Keadilan Islam

 

Prof. Dr. Muhammad Harfin Zuhdi, MA adalah salah satu Santri Kaliwates yang mendedikasikan diri du UIN Mataram.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Apa jadinya jika warisan keilmuan klasik dipertemukan dengan kompleksitas zaman modern? Inilah yang akan dikupas tuntas dalam Sidang Senat Terbuka Universitas Islam Negeri Mataram, Senin 21 April 2025. Sebuah momentum bersejarah: Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Masail Fiqhiyyah oleh Prof. Dr. Muhammad Harfin Zuhdi, MA.

Dengan tema besar “Formulasi Mashlahah Maqashidiyyah dalam Kajian Masail Fiqhiyyah di Era Kontemporer”, Prof. Harfin Zuhdi mengajak kita menengok ulang cara fiqh merespons zaman, dari problematika digital hingga isu-isu global. Bagaimana maslahat didekati secara maqashidi? Dan sejauh mana fiqh mampu menjawab tantangan kekinian?

Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Dr. Muhammad Harfin Zuhdi mengangkat urgensi pendekatan mashlahah maqashidiyyah sebagai formulasi strategis dalam menjawab kompleksitas persoalan hukum Islam (masail fiqhiyyah) di era kontemporer. Ia menegaskan bahwa fiqh tidak semata-mata produk teks, melainkan interaksi antara teks dan realitas. Karena itu, hukum Islam tak bisa dibekukan dalam ruang dan waktu yang sempit.

Fiqh yang Relevan, Adaptif, dan Kontekstual

Masail fiqhiyyah merupakan cabang penting dalam disiplin hukum Islam yang membahas persoalan-persoalan aktual yang terus berkembang, dari urusan sosial ekonomi, perkembangan teknologi digital, hingga isu lingkungan dan kecerdasan buatan. Dalam menghadapi tantangan-tantangan itu, para fuqaha dituntut untuk tak sekadar berpegang pada lafaz, tetapi juga mampu menangkap ruh syariah yang mendasari teks.

Prof. Harfin menawarkan mashlahah maqashidiyyah sebagai pendekatan alternatif yang menawarkan fleksibilitas dan kedalaman dalam merespons isu-isu modern. Ia berpijak pada prinsip bahwa semua ajaran Islam sejatinya ditujukan untuk kemaslahatan umat manusia, baik secara individual maupun komunal, spiritual maupun sosial.

Fondasi Filosofis Mashlahah Maqashidiyyah

Konsep mashlahah berpijak pada lima prinsip dasar hukum Islam atau maqashid al-syari'ah: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Menurut al-Ghazali, mashlahah adalah tujuan utama syariat. Pandangan ini diperkuat oleh para pemikir besar seperti Syatibi, Ibn ‘Ashur, dan Jasser Auda yang mengembangkan maqashid al-syari’ah sebagai paradigma hukum yang integratif dan aplikatif dalam konteks kekinian.

Mashlahah bukan hanya “apa yang bermanfaat” dalam pandangan manusia, tetapi yang selaras dengan kehendak ilahi. Oleh karena itu, kemaslahatan yang hakiki adalah yang tak bertentangan dengan nash syariah, melainkan bersenyawa dengannya.

Mashlahah Sebagai Poros Dinamika Hukum

Dalam praktiknya, mashlahah maqashidiyyah tak hanya menjadi dalil normatif, tapi juga etika moral dan panduan pragmatis dalam penyusunan fatwa, kebijakan publik, dan produk hukum. Ia menjadi jembatan antara teks dan konteks, antara wahyu dan realitas.

Mashlahah mampu memandu hukum Islam agar tidak kehilangan makna dalam lanskap dunia modern yang cair dan kompleks. Ia menjamin hukum Islam tetap memberi kontribusi nyata dalam menciptakan keadilan sosial, harmoni ekologis, dan kemaslahatan universal.

Kemaslahatan dalam Berbagai Dimensi Kehidupan

Prof. Harfin menggambarkan bagaimana konsep mashlahah dapat diterapkan dalam berbagai bidang. Dalam politik, mashlahah memberikan kerangka moral agar kebijakan publik menjunjung keadilan sosial. Dalam isu lingkungan, mashlahah mendorong ijtihad ekologis seperti green fatwa dan eko-teologi sebagai upaya menjawab krisis iklim. Bahkan dalam dunia digital dan kecerdasan buatan, mashlahah berperan sebagai kompas etik untuk membangun tata hukum Islam yang relevan dan bertanggung jawab.

Konsep ini juga selaras dengan visi Indonesia Emas dan tagline Agama Berdampak dari Kementerian Agama, yang menekankan bahwa agama bukan hanya urusan ibadah, tetapi juga harus memberi kontribusi nyata bagi kemanusiaan.

Sejarah dan Evolusi Pemikiran Mashlahah

Orasi ini tak hanya normatif, tetapi juga historis. Prof. Harfin menelusuri akar pemikiran mashlahah dari masa klasik hingga modern. Ia menyebut karya monumental al-Ghazali, al-Shatibi, serta kontribusi pemikir kontemporer seperti al-Najjar dan Jasser Auda. Bahkan dalam lintasan sejarah Islam, mashlahah telah menjadi instrumen penting reformasi hukum, seperti dalam Ahd al-Aman di Tunisia abad ke-19.

Ia juga menyentuh kontroversi dan perdebatan seputar mashlahah. Sebagian ulama menolak penggunaan mashlahah mursalah tanpa nash, sementara lainnya, seperti al-Tufi, justru menjadikannya prinsip utama ijtihad. Dalam situasi demikian, Prof. Harfin mendorong model ijtihad jama’i seperti dilakukan oleh MUI, NU, dan Muhammadiyah sebagai upaya menjaga akuntabilitas dan objektivitas hukum.

Kategorisasi dan Aplikasi Mashlahah

Orasi ini menjelaskan secara komprehensif tentang klasifikasi mashlahah:

  • Daruriyyah: kebutuhan primer yang menyangkut lima prinsip maqashid.
  • Hajiyyah: kebutuhan sekunder yang menghindari kesulitan hidup.
  • Tahsiniyyah: pelengkap kehidupan, mencakup etika dan estetika.

Mashlahah juga dibagi menjadi umum dan khusus, tergantung jangkauannya terhadap masyarakat. Semakin luas manfaatnya, semakin tinggi urgensinya dalam penetapan hukum.

Menuju Ijtihad Kontekstual

Sebagai penutup, Prof. Harfin menekankan bahwa mashlahah maqashidiyyah adalah jantung dari ijtihad kontemporer yang menuntut perpaduan antara teks, akal, dan realitas. Para ulama masa kini tidak cukup hanya menguasai kitab-kitab klasik, tetapi juga harus memiliki sensitivitas terhadap konteks sosial, ekonomi, dan politik umat.

Dengan formulasi mashlahah maqashidiyyah, hukum Islam tidak hanya akan tetap hidup, tetapi juga menjadi solusi—bukan beban—dalam kehidupan modern. Ini adalah jalan tengah antara fundamentalisme tekstual dan liberalisme legal—sebuah ijtihad yang cerdas, bijak, dan berdampak. [pgn]

Posting Komentar

0 Komentar