Kok Membatalkan Puasa?

Pak Guru NINE bersama Pak St. Meseri saat mengikuti acara Halal Bihalal Keluarga SMAN 2 Jombang pada Selasa, 8 April 2025.

[Jombang, Pak Guru NINE] - “Pak Nine, saya mau tanya. Saya kok agak bingung dengan istilah ‘membatalkan puasa’. Bukankah puasanya sudah selesai? Kok malah dibilang batal?”

Begitu pertanyaan santai tapi cukup ‘menggelitik’ dari rekan kerja saya, Pak St. Meseri, yang saya panggil akrab dengan sebutan Pak Meseri. Beliau adalah guru Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti yang mengajar bersama saya di SMAN 2 Jombang. Sementara saya sendiri, Nine Adien Maulana—biasa dipanggil Pak Guru NINE—adalah guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti.

Sebagai sesama guru agama, kami sering berdiskusi ringan tentang banyak hal, dari topik keagamaan sampai urusan kultural yang menyertainya. Bukan untuk berdebat atau mencari siapa yang paling benar, melainkan untuk saling memahami dan belajar. Dan, jujur saja, saya sangat menikmati percakapan-percakapan seperti itu—terutama karena seringkali justru mengantarkan saya pada perspektif baru yang tak pernah saya pikirkan sebelumnya.

Pertanyaan Pak Meseri tentang istilah “membatalkan puasa” itu contohnya. Awalnya saya sempat terdiam. Saya tahu apa maksudnya. Tapi ketika dipikir-pikir, ya juga ya. Kok bisa-bisanya kita menyebut aktivitas berbuka puasa—yang jelas-jelas merupakan akhir dari ibadah yang sah dan mulia—dengan istilah “membatalkan”?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “batal” memiliki arti tidak berlaku, tidak sah, atau gagal. Sementara “membatalkan” berarti menjadikan sesuatu tidak berlaku, mengurungkan, atau meniadakan. Jadi kalau kita bilang “membatalkan puasa”, bukankah seolah-olah kita meniadakan puasa yang sudah kita lakukan dari pagi sampai petang? Bukankah itu justru menyalahi makna ibadah itu sendiri?

Saya pun menjelaskan pada Pak Meseri bahwa dalam bahasa fiqih Islam, sebenarnya ada dua istilah yang berbeda: yang pertama adalah ifthar, yakni aktivitas mengakhiri puasa ketika waktu Maghrib tiba—dengan makan, minum, atau semacamnya. Ini yang lazim kita sebut “berbuka puasa”.

Yang kedua adalah istilah ibthal, yaitu membatalkan puasa dalam arti menjadikan puasanya tidak sah—entah karena makan di siang hari dengan sengaja, melakukan hubungan suami istri, atau sebab-sebab lain yang membatalkan puasa secara syar’i. Nah, inilah yang dimaksud “membatalkan puasa” dalam konteks hukum fiqih.

Jadi, ketika kita berbuka puasa saat Maghrib, itu bukan membatalkan, tapi menyempurnakan ibadah puasa. Maka dari itu, secara istilah, seharusnya kita bilang “berbuka puasa”, bukan “membatalkan puasa”. Saya pun mengakui pada Pak Meseri, bahwa selama ini saya sendiri sering menyebut “membatalkan puasa” dalam konteks berbuka. Padahal, secara makna dan nuansa, itu kurang tepat.

Saya pun lantas tersenyum dan berkata, “Terima kasih, Pak Meseri. Pertanyaan njenengan ini membuat saya ‘membuka mata’. Ternyata, pilihan kata juga bisa membingungkan kalau kita tidak hati-hati.”

Saya menyadari, kekeliruan dalam berbahasa seringkali dianggap remeh, padahal bisa berdampak besar pada cara orang memahami ajaran agama. Apalagi jika istilah itu digunakan lintas agama, lintas budaya, bahkan lintas generasi. Seorang nonmuslim, misalnya, bisa saja salah paham ketika mendengar kita berkata, “Saya sudah membatalkan puasa, nih,” padahal maksudnya hanya “Saya sudah berbuka.”

Bahkan, dalam konteks pendidikan pun, ini bisa jadi titik refleksi. Bagaimana kita mendidik siswa untuk memahami agama secara tepat, kalau kita sendiri belum teliti dalam penggunaan istilah? Tugas guru agama bukan hanya menjelaskan isi kitab, tapi juga membimbing cara berpikir, cara merasa, bahkan cara berbahasa agar tidak melenceng dari nilai-nilai yang kita yakini.

Lucunya, setelah percakapan itu, saya jadi lebih waspada dalam memilih kata. Beberapa kali hampir saja saya mengucap “ayo membatalkan puasa” kepada orang lain, tapi langsung saya koreksi sendiri, “Eh, maksud saya, ayo berbuka puasa.” Orang yang menyimak saya bisa jadi tidak peduli soal istilah itu. Tapi bagi saya, ketepatan berbahasa adalah bagian dari ketepatan menyampaikan nilai.

Ada ungkapan Arab yang mengatakan, “Lisanul hal afshahu min lisanil maqāl”, yang artinya “Bahasa perbuatan lebih fasih daripada bahasa lisan.” Tapi kalau bisa, lisan kita pun harus fasih dalam menyampaikan kebenaran. Karena dari lisan, hati bisa tersentuh; dari hati, perbuatan bisa berubah.

Dan di sinilah saya merasa pentingnya keberagaman yang saling bersentuhan. Kehadiran Pak Meseri sebagai guru Katolik bukan hanya memperkaya kerukunan antarumat beragama, tapi juga menjadi cermin bagi saya sendiri untuk memahami agama Islam lebih dalam. Terkadang, justru orang luar yang mengingatkan kita pada sesuatu yang sudah lama kita anggap biasa. Padahal, di situlah letak ketidaktepatannya.

Maka mulai hari itu, saya tak lagi menyebut “membatalkan puasa” untuk menyebut berbuka. Saya ajak siswa dan rekan-rekan guru untuk ikut menggunakan istilah yang lebih tepat: berbuka puasa. Karena kita tidak sedang membatalkan, melainkan menyempurnakan.

Dan kalau ada yang masih bingung, saya akan cerita tentang satu momen kecil bersama Pak Meseri yang membuka cara pandang saya: “Kok membatalkan puasa?” Ternyata pertanyaan sederhana itu bisa menjadi pintu masuk menuju kedalaman makna.[pgn]


Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Guru Penggerak Angkatan 9 tahun 2024

Posting Komentar

0 Komentar