![]() |
Dalam suatu pembelajaran yang aktif, baik guru maupun murid saling belajar dari apa saja yang dialaminya selama berlangsungnya kegiatan itu. |
[Jombang, Pak Guru
NINE] - Guru Pendidikan Agama
Islam di Sekolah (PAIS) adalah pilar moral dalam dunia pendidikan formal. Namun
di balik peran sentral mereka dalam pembentukan karakter peserta didik,
ternyata tersimpan beragam persoalan pelik yang selama ini membelit.
Berdasarkan hasil survei saya terhadap 40 responden guru PAIS, baik ASN maupun
non-ASN, muncul satu benang merah: ketidakjelasan status kelembagaan dan
ketimpangan kesejahteraan menjadi masalah utama yang mereka hadapi.
Analisis Kuantitatif
Dari 40 responden yang memberikan
jawaban terbuka, dapat dikelompokkan secara kuantitatif sebagai berikut:
- Ketidakadilan
dalam hak dan kesejahteraan (gaji 13, THR, TPG, dan lainnya)
Sebanyak 28 responden (70%) secara
eksplisit menyebutkan masalah ini. Misalnya, responden 3, 7, 19, 20, 24, dan 39
menyoroti bahwa Guru PAIS tidak menerima THR atau gaji ke-13 dari TPG, tidak
seperti guru lain yang berada di bawah Kemendikdasmen.
- Tumpang tindih
kebijakan dan birokrasi dua kementerian (Kemenag dan Kemendikdasmen)
Sebanyak 24 responden (60%) mengangkat
isu ini. Mereka menyebutkan kesulitan karena harus tunduk pada regulasi dari
dua instansi yang sering tidak sinkron, seperti terlihat pada responden 1, 2,
9, 10, 18, 32, dan 36.
- Administrasi dan
supervisi ganda
Sebanyak 10 responden (25%) menyatakan
bahwa mereka dibebani dengan sistem administrasi ganda, misalnya harus mengisi
data di EMIS, Dapodik, SIAGA, dan menjalani supervisi dari dua pihak berbeda.
- Minimnya
dukungan dari guru lain terhadap kegiatan keagamaan dan pembiasaan
spiritual
Sebanyak 2 responden (5%), seperti
responden 6, mengeluhkan kurangnya sinergi dengan guru non-PAI dalam mendukung
pembiasaan spiritual peserta didik.
- Masalah
pengembangan profesional dan peningkatan karier
Sebanyak 4 responden (10%), seperti
responden 15 dan 31, menyebutkan sulitnya akses mengikuti PPG, dan stagnasi
karier karena status administratif yang membingungkan.
Dari analisis ini dapat disimpulkan
bahwa dua persoalan dominan yang paling sering dikeluhkan adalah ketimpangan
kesejahteraan dan kerancuan otoritas kelembagaan yang
menimbulkan dampak berantai pada beban administrasi, pengakuan tugas, hingga
hak-hak kepegawaian.
Analisis Kualitatif
Secara kualitatif, narasi-narasi yang
muncul dari para responden menggambarkan ketidaknyamanan struktural yang
mendalam. Responden menggunakan istilah seperti “dilempar-lempar”, “anak
tiri”, “punya dua bapak tapi terlantar”, hingga “tidak dianggap
keberadaannya” sebagai bentuk protes atas perlakuan yang dianggap tidak
adil.
Responden 32, misalnya, menjelaskan
dengan detail bagaimana Guru PAIS harus menjalankan tugas tambahan seperti
membimbing BTQ dan pembiasaan salat, tetapi tetap tidak diikutsertakan dalam
program seperti guru penggerak karena status mereka dianggap bukan dari
Kemendikbud. Ini menggambarkan ambiguitas identitas kelembagaan yang tidak
hanya berdampak administratif, tetapi juga psikologis.
Sementara itu, responden 17 menyatakan
dengan nada emosional bahwa “jangan salahkan jika kami longmarch biar dunia
tahu,” menandakan bahwa akumulasi ketidakadilan ini telah mencapai titik jenuh.
Ketegangan ini tidak sekadar keluhan, tetapi menyimpan potensi lahirnya gerakan
kolektif bila pemerintah tidak segera melakukan intervensi.
Responden 18 menggambarkan secara
filosofis, bagaimana Guru PAIS yang berada dalam naungan Kemendikdasmen tetapi
di bawah binaan Kemenag akhirnya teralienasi dan merasa dikucilkan di lingkungan
kerjanya sendiri. Ini mencerminkan dilema identitas profesional yang tidak dialami
oleh guru-guru mapel lain.
Bahkan dalam jawaban yang lebih ringan
seperti responden 28 (“ibarat punya dua bapak tapi malah terlantar”), tersirat
kritik tajam bahwa keberadaan dua instansi tidak berujung pada perbaikan
layanan, tetapi justru melahirkan kebingungan, beban ganda, dan pengabaian.
Simpulan dan Rekomendasi
Dari analisis kuantitatif dan
kualitatif di atas, tampak bahwa mayoritas guru PAIS menghadapi krisis
kejelasan status kelembagaan dan ketimpangan kesejahteraan yang sistemik.
Situasi ini telah berlangsung lama dan menimbulkan frustrasi kolektif.
Rekomendasi kebijakan yang dapat
diusulkan antara lain:
- Harmonisasi
kebijakan antara Kemenag dan Kemendikdasmen:
Pemerintah perlu membentuk regulasi terpadu yang jelas mengenai status,
hak, dan kewajiban Guru PAIS di sekolah umum.
- Pemberlakuan
kesetaraan hak kesejahteraan: Guru PAIS yang telah memenuhi syarat TPG dan
administratif harus menerima hak keuangan seperti THR, gaji ke-13, dan
TPG, setara dengan guru mapel lainnya.
- Penyederhanaan
sistem administrasi: Perlu dibuat satu platform data terpadu agar guru
PAIS tidak perlu melakukan pendataan di tiga hingga empat sistem yang
berbeda.
- Peningkatan
afirmasi keprofesian: Guru PAIS harus mendapat akses yang sama dalam
pengembangan profesional, termasuk program PPG, guru penggerak, dan
promosi jabatan.
Sebagai penutup, keluhan-keluhan Guru PAIS ini bukan hanya gugatan atas kesejahteraan yang tak kunjung tiba, tetapi juga jeritan dari identitas profesional yang dibiarkan tergantung di persimpangan dua kementerian. Mereka ingin didengar, diakui, dan diperlakukan setara sebagai pendidik yang telah berjasa menjaga nilai-nilai spiritual dalam pendidikan nasional. [pgn]
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Guru Penggerak Angkatan 9 tahun 2024
0 Komentar