Ini Emansipasi Asli, Bukan Imitasi

 

Peringatan Hari Kartini identik dengan mengenakan busana adat khususnya khas Jawa. 

[Jombang, Pak Guru NINE] - Saat saya memasuki ruang kelas XI-4 SMAN 2 Jombang untuk memandu pembelajaran dalam rangka Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), suasana tampak berbeda. Senyum dan tanya berseliweran di wajah para murid. Salah satu dari mereka, dengan nada heran, bertanya, “Pak, kenapa hari ini kita nggak pakai kebaya atau batik ya? Padahal ini kan Hari Kartini?”

Saya tersenyum dan menjawab dengan santai, “Ya, karena memang tidak ada instruksi resmi tentang itu, jadi ya kita tetap memakai seragam seperti biasanya.” Meski jawaban itu sederhana dan jujur, saya tahu dari ekspresi mereka bahwa itu belum cukup memuaskan. Mereka membandingkan dengan sekolah lain yang hari ini tampak lebih meriah dengan kebaya dan busana adat. Maka, saya merasa perlu mengganti kekecewaan kecil mereka dengan sesuatu yang lebih bermakna.

Saya pun mulai bercerita tentang emansipasi. Bukan sekadar dari Kartini, tetapi dari akar-akar perjuangan yang lebih dalam, lebih faktual, dan lebih asli dari tanah air kita. Saya ajak mereka berpikir: apakah emansipasi perempuan hanya sebatas mengenakan kebaya setahun sekali? Apakah perjuangan Kartini satu-satunya narasi perempuan dalam sejarah bangsa?

Kartini memang tokoh penting. Ia menghidupkan wacana pemikiran tentang hak perempuan dalam konteks zamannya. Tapi jauh sebelum Kartini menyusun pikirannya dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang”, Nusantara telah memiliki perempuan-perempuan luar biasa yang tak hanya berbicara—mereka bertindak!

Coba bayangkan sosok Cut Nyak Dien yang memimpin pasukan gerilya di hutan-hutan Aceh setelah suaminya gugur di tangan Belanda. Atau Cut Nyak Meutia yang tetap maju ke medan laga meski risiko nyawanya di ujung tombak. Ada pula Martha Christina Tiahahu dari Maluku, yang sejak remaja telah bergabung dalam perang Pattimura. Ia lebih memilih mati dalam pengasingan ketimbang menyerah kepada penjajah.

Di Jawa Tengah, Nyi Ageng Serang bahkan memimpin pasukan meski usianya sudah senja. Lalu Dewi Sartika di Jawa Barat, yang tak mengangkat senjata, tetapi membuka sekolah untuk perempuan sebagai bentuk perlawanan terhadap kebodohan yang dibiarkan penjajah tumbuh subur. Dan satu lagi yang sering terlupakan: Laksamana Keumalahayati dari Kesultanan Aceh, seorang pemimpin armada laut, satu dari sedikit perempuan di dunia yang memegang peran strategis seperti itu pada masanya.

Mereka semua adalah bukti bahwa perjuangan emansipasi perempuan bukanlah ide impor dari Barat, melainkan fakta sejarah dari bumi pertiwi. Para perempuan ini tidak sibuk menuntut kesetaraan dalam kata-kata, mereka memperjuangkannya lewat tindakan nyata. Emansipasi dalam konteks Indonesia lahir dari keberanian, bukan dari kebencian terhadap laki-laki; dari keinginan untuk membangun, bukan merobohkan.

Saya kemudian mengajak siswa-siswa untuk merenung: emansipasi yang dibawa oleh Kartini sangat selaras dengan budaya dan konteks sosial zamannya. Ia tidak menanggalkan jati dirinya sebagai perempuan Jawa, bahkan simbol peringatan Hari Kartini pun identik dengan busana adat seperti kebaya dan lurik. Inilah yang menjadi pembeda mendasar dengan gerakan feminisme Barat yang cenderung agresif dan dalam banyak hal, mencoba menghapus batas identitas antara laki-laki dan perempuan.

Lalu saya pertegas satu hal penting kepada mereka: perempuan menjadi mulia bukan karena bisa menandingi laki-laki, tetapi karena ia tetap setia menjadi perempuan. Perjuangan yang sejati adalah ketika perempuan mengasah keunikannya, bukan meniru peran laki-laki. Laki-laki dan perempuan tidak harus sama untuk setara. Mereka saling melengkapi, bukan saling menggeser.

Perempuan punya potensi khas yang tidak bisa digantikan: kelembutan hati, kepekaan rasa, ketahanan batin, dan kekuatan kasih sayang. Justru itulah kekuatan sejati yang membuat perempuan bisa menjadi pendidik peradaban dalam keluarga dan masyarakat. Dalam dunia yang kadang bingung membedakan antara kesetaraan dan penyeragaman, kita perlu kembali pada akar nilai: kesetaraan bukanlah keseragaman.

Dalam memperingati Hari Kartini, kita tak cukup hanya mengenakan kebaya lalu berswafoto. Kita harus menyelami maknanya lebih dalam—bahwa perempuan Indonesia telah lama memperjuangkan martabatnya, bahkan ketika dunia luar belum bicara soal kesetaraan gender.

Perjuangan para perempuan Indonesia bukan semata-mata soal ingin bebas dari keterkungkungan, tapi juga ingin ikut serta membangun bangsa dengan caranya sendiri. Dan itu tidak harus dilakukan dengan meninggalkan kodrat atau meniru cara laki-laki. Sebab perbedaan bukanlah masalah, melainkan kekuatan yang saling melengkapi.

Maka, mari rayakan emansipasi perempuan dengan cara yang tepat. Bukan dengan semangat menyaingi laki-laki, melainkan dengan semangat mengembangkan potensi diri sebagai perempuan sejati. Jadilah perempuan yang bangga dengan jati dirinya, perempuan yang tahu arah perjuangannya, dan perempuan yang tidak mudah kagetan dengan ide-ide luar yang kadang justru membuat kita lupa pada akar budaya sendiri.

Perempuan yang mulia adalah ia yang tidak kehilangan arah dalam menghadapi zaman. Ia tahu bahwa kekuatannya bukan pada menyerupai laki-laki, tapi pada kemampuannya menjadi dirinya sendiri. Dan bangsa ini berutang besar pada para perempuan yang telah membuktikan hal itu dengan segenap jiwa dan raga.

Selamat Hari Kartini. Mari terus hidupkan semangat perjuangan, bukan hanya dengan baju adat, tapi dengan pemahaman dan kebanggaan pada perjuangan asli bangsa sendiri.[pgn]

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Guru Penggerak Angkatan 9 tahun 2024

 

Baca juga!

Perempuan Mulia Karena Tetap Menjadi Perempuan

Posting Komentar

0 Komentar