![]() |
Sekolah Rakyat adalah sekolah berasrama yang 100% gratis bagi anak-anak dari keluarga miskin. |
[Jombang,
Pak Guru NINE] - Saya
termasuk orang yang percaya bahwa pendidikan bukan hanya tentang duduk di
bangku sekolah, tetapi tentang bagaimana anak-anak dibentuk secara utuh—akal,
jiwa, dan karakternya. Karena itu, ketika muncul wacana pendirian Sekolah
Rakyat oleh pemerintah, saya merasa terpanggil untuk mendukungnya, bukan
sekadar sebagai guru, tetapi sebagai seseorang yang pernah hidup dan tumbuh
dari sistem pendidikan berbasis nilai, asrama, dan kesetaraan akses.
Saya besar di lingkungan pesantren. Saat menempuh
pendidikan di MTsN Tambakberas (1992-1995), saya tinggal di Pondok Pesantren
Bahrul Ulum, diasuh langsung oleh KH. Djamaluddin Ahmad. Dari pengalaman itu
saya tahu: anak-anak dari berbagai latar belakang sosial bisa tumbuh bersama
dalam nuansa yang setara, saling belajar, dan saling menumbuhkan. Pondok bukan sekadar tempat tidur,
tapi ruang transformasi.
Ketika melanjutkan studi di MAPK/MAKN Jember, saya kembali tinggal di
asrama. Meski bukan pondok pesantren, nuansa kesungguhan dalam belajar tetap
terasa kuat. Kami datang dari berbagai pelosok Jawa Timur dan luar daerah. Yang
menyatukan kami bukan status sosial, melainkan semangat untuk menjadi versi
terbaik dari diri kami masing-masing. Sekolah ini melatih kami menjadi pribadi
mandiri, berpikiran terbuka, dan siap kembali ke masyarakat dengan kontribusi
nyata. Banyak dari teman seangkatan saya kini menjadi dosen, peneliti, diplomat,
politisi dan berbagai medan khidmat yang mewarnai dinamika negeri ini. Saya percaya, ini semua
berawal dari sistem yang memberi peluang setara bagi anak-anak dengan semangat
tinggi, walau dari latar belakang sederhana.
Namun, pengalaman saya tidak berhenti di situ.
Saya pernah mengajar di SD Islam Roushon Fikr, sekolah swasta progresif yang
menjadi pilihan utama kalangan muslim urban dengan ekonomi kuat. Sekolah ini
menunjukkan bahwa ketika sumber daya cukup, mutu pendidikan bisa melonjak. Tapi
di sisi lain, saya sadar: tidak semua anak bisa bersekolah di tempat seperti
ini. Banyak anak dari keluarga prasejahtera yang tak bisa menyentuh gerbang
sekolah berkualitas. Di sinilah urgensi Sekolah Rakyat—sebuah model pendidikan
inklusif dan transformatif—menemukan relevansinya.
Sekarang saya mengajar di SMAN 2 Jombang, sekolah
negeri unggulan yang sangat kompetitif. Tapi, meskipun murid-muridnya pintar,
banyak dari mereka berasal dari keluarga kurang mampu. Sekitar 20 persen
berasal dari kelompok ekonomi bawah. Ketika sekolah mencoba menggalang
partisipasi wali murid untuk mendukung program-program unggulan, suara yang
terdengar justru keheningan. Tidak karena mereka tidak peduli, tapi karena
memang mereka tak punya cukup daya. Lalu siapa yang akan memfasilitasi
anak-anak ini agar bisa berkompetisi secara adil?
Pengalaman saya di luar kelas—di bidang
pemberdayaan zakat, infak, dan sedekah—semakin menegaskan bahwa akar dari
banyak persoalan sosial kita adalah ketimpangan akses pendidikan. Saya pernah
memimpin NU CARE-LAZISNU Jombang. Di sana saya melihat langsung bagaimana
banyak keluarga miskin berharap pada bantuan pendidikan, berharap anak-anak
mereka tidak mengulang takdir yang sama. Sayangnya, dana sosial dan donasi
seringkali hanya menyelesaikan masalah jangka pendek. Padahal yang dibutuhkan
adalah solusi sistemik.
Dalam konteks ini, Sekolah Rakyat bukan sekadar
sekolah. Ia adalah ikhtiar negara mewujudkan amanat konstitusi, seperti yang
tertulis di Pembukaan UUD 1945: mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan
kesejahteraan umum. Pasal 34 UUD bahkan secara eksplisit menyebutkan: fakir
miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Pendirian Sekolah Rakyat
adalah wujud konkret dari mandat ini—bukan bantuan karitatif semata, tapi upaya
pemberdayaan jangka panjang.
Berbagai regulasi juga memperkuat dasar hukumnya,
dari UU Kesejahteraan Sosial, UU Jaminan Sosial Nasional, hingga PP tentang
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Semuanya berpuncak pada satu titik:
negara bertanggung jawab menyediakan layanan dasar, termasuk pendidikan, kepada
warga yang tidak mampu. Maka, jika negara serius ingin memutus rantai
kemiskinan, Sekolah Rakyat adalah salah satu jalannya.
Tentu, saya tidak menutup mata terhadap
kekhawatiran yang muncul. Ada yang menyebut risiko stigmatisasi—bahwa Sekolah
Rakyat akan jadi “sekolah orang miskin.” Ada juga yang cemas soal anggaran dan
keberlanjutan program. Tapi bukankah semua kebijakan besar memang selalu
mengundang kritik di awalnya? Justru dari kritik itulah kita bisa memperbaiki
desain dan implementasinya. Jangan karena takut salah, kita malah diam dan
membiarkan ketimpangan ini abadi.
Bagi saya, Sekolah Rakyat adalah jalan restorasi
sosial. Ia bukan hanya tempat belajar, tapi ruang harapan baru. Ia bisa menjadi
tempat lahirnya generasi pemimpin baru dari kalangan bawah yang kerap tak
terdengar suaranya. Jika dirancang dengan matang—dengan sistem seleksi yang
adil, pengelolaan yang transparan, dan pembinaan psikososial yang memadai—maka
Sekolah Rakyat bisa menjadi kawah candradimuka bagi anak-anak dari keluarga
miskin untuk naik kelas secara sosial, intelektual, dan spiritual.
Indonesia tidak kekurangan anak cerdas. Yang sering kita abaikan adalah memberi mereka panggung dan alat untuk naik ke permukaan. Saya mendukung penuh Sekolah Rakyat karena saya tahu: perubahan besar tak selalu dimulai dari gedung megah atau fasilitas canggih. Kadang cukup dari satu ruang asrama yang sederhana, satu guru yang peduli, dan satu anak miskin yang diberi kesempatan. Jika sebaliknya, Sekolah Rakyat malah memang didesain sebagai sekolah berasrama dengan segala fasilitas penunjang secara gratis bagi anak-anak berprestasi dari keluarga miskin eskstrim dan miskin, maka tentu ini semakin menguatkan datangnya perubahan besar itu.[pgn]
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Guru Penggerak Angkatan 9 tahun 2024
2 Komentar
Luar biasa Pak, memang benar kita perlu senantiasa berhusnudzon pada setiap upaya untuk mengembangkan pendidikan. Anak-anak kalangan bawah kadang bukan malas untuk belajar, hanya kadang mereka belum mendapat kesempatan yang sama untuk belajar seperti anak lainnya.
BalasHapusMenurut saya, Sekolah Rakyat jelas membawa manfaat, terutama bagi masyarakat yang selama ini terpinggirkan dari akses pendidikan formal yang bermakna. Namun, tak sedikit yang bersikap kontra. Salah satu kritik yang sering muncul adalah soal relevansi kebutuhan lokal: apakah daerah yang menjadi lokasi Sekolah Rakyat benar-benar sangat membutuhkannya, atau justru program ini dipaksakan tanpa kajian mendalam? Pertanyaan ini sah-sah saja, bahkan perlu dijadikan bahan evaluasi. Karena sejatinya, Sekolah Rakyat bukan hadir untuk menggantikan yang sudah ada, tapi untuk menjawab kebutuhan yang belum terpenuhi—dengan pendekatan yang lebih membumi dan sesuai konteks lokal.
BalasHapus