![]() |
Saksikan wawancara penelitian yang akhirnya menjadi semacam talkshow antara peneliti dengan respondennya dengan mengklik tautan ini! |
[Jombang, Pak Guru NINE] - Rabu pagi itu 16 April
2025, suasana di SMAN 2 Jombang tampak seperti biasa—riuh, penuh semangat para
siswa yang baru saja selesai mengikuti kegiatan tengah semester. Di salah satu
sudut lobby sekolah, tampak dua orang perempuan
muda duduk dengan rapi, mencatat sesuatu di lembar kertasnya. Namanya Zahrotun
Nadhifah dan Sya’diyah, mahasiswa
Magister Pendidikan Agama Islam dari Universitas Hasyim Asy’ari (UNHASY)
Jombang. Hari itu, ia datang khusus untuk mewawancarai salah satu guru PAI di
sekolah tersebut, Nine Adien Maulana.
Ifa—begitu ia biasa disapa—sedang mengerjakan tugas ahir kuliahnya. Ia tertarik mendalami isu kesehatan reproduksi
remaja, terutama yang berkaitan dengan pasal kontroversial dalam Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 2024, yang membuka peluang penyediaan alat
kontrasepsi untuk usia sekolah dan remaja.
"Kenapa Bapak yang saya pilih
sebagai narasumber? Karena saya lihat Bapak sering angkat isu-isu pendidikan
dan keagamaan di media sosial, dan Bapak juga mengajar langsung di tingkat SMA.
Saya ingin tahu, bagaimana pendapat Bapak sebagai pendidik yang setiap hari
berhadapan langsung dengan remaja?" Zahro membuka sesi wawancara dengan
antusias.
Nine tersenyum hangat. Ia mengaku
sempat membaca PP tersebut dan mengamati perbincangan hangat yang muncul di media
sosial. “Saya merasa topik ini cukup sensitif, tapi penting dibicarakan secara
terbuka dan jujur,” ujarnya. Ia pun menceritakan langkah kecil yang telah ia
ambil untuk memahami persepsi murid-muridnya.
“Saya penasaran, seberapa paham
mereka tentang alat kontrasepsi. Lalu saya buat survei sederhana pakai Google
Form,” kata Nine. Survei itu hanya berisi satu pertanyaan terbuka: Apa yang
kalian pikirkan ketika mendengar istilah alat kontrasepsi? Sebanyak 61
murid dari kelas XI dan XII menjawab secara spontan.
Zahro mencatat dengan cermat saat
Nine memaparkan hasil survei tersebut. Sebagian besar murid mengaitkan
kontrasepsi dengan pencegahan kehamilan, ada juga yang menyebut alat seperti
kondom, spiral, atau suntik KB. Tapi tidak sedikit yang menjawab dengan nada
negatif, seperti “alat orang zina,” atau “hubungan di luar nikah.” Bahkan ada
pula yang menjawab, “nggak tahu,” atau “hal tabu.”
“Dari situ saya tahu, anak-anak ini
sebenarnya punya rasa ingin tahu, tapi dibatasi oleh nilai sosial dan agama
yang mereka yakini. Dan itu wajar,” jelas Nine. Ia menekankan bahwa bukan
berarti informasi tentang kontrasepsi harus ditutup rapat-rapat, tapi cara
penyampaiannya harus disesuaikan dengan usia, budaya, dan nilai-nilai yang
berlaku.
Ifa kemudian bertanya, apakah topik seperti ini diajarkan dalam pelajaran PAI?
Nine menjawab, “Di kurikulum kita
memang ada bahasan tentang menjaga diri, akhlak pergaulan, sampai bahasan
tentang haid dan mimpi basah. Tapi kontrasepsi? Belum. Makanya kalau pun mau
masuk ke sekolah, ya harus dibingkai dalam konteks besar: pendidikan kesehatan
reproduksi secara utuh, bukan hanya soal alatnya.”
Di akhir wawancara, Ifa bertanya, apa harapan Pak Nine terhadap kebijakan
pemerintah ke depan?
“Harapan saya, pemerintah jangan
hanya fokus pada distribusi alat, tapi juga memperkuat peran guru dan orang tua
dalam proses edukasi. Sertakan kami dalam perancangan kurikulumnya. Karena kami
yang paling tahu kondisi anak-anak di lapangan,” ujar Nine mantap.
Ifa tersenyum puas. Ia merasa mendapatkan perspektif baru dari lapangan yang
tak bisa ditemukan hanya dengan membaca literatur. Dari hasil wawancaranya
dengan Nine Adien Maulana, ia menyadari bahwa pendidikan bukan sekadar soal
materi ajar, tapi juga soal pendekatan, pemahaman, dan kearifan.
“Bukan soal kontrasepsinya, tapi soal bagaimana kita menyampaikannya,” begitu kata Nine, yang terus terngiang di kepala Ifa saat ia beranjak meninggalkan sekolah siang itu.[pgn]
0 Komentar