![]() |
Instagram adalah media sosial yang paling banyak digunakan oleh murid-murid saya di SMAN 2 Jombang. |
[Jombang,
Pak Guru NINE] - Di tengah derasnya arus digitalisasi, media sosial tidak hanya
menjadi alat komunikasi, tetapi juga arena ekspresi diri, panggung aktualisasi,
bahkan ruang pencitraan personal. Salah satu platform yang paling populer saat ini, khususnya bagi remaja, adalah Instagram. Ia menyediakan dua fitur utama
untuk membagikan momen: feed dan story. Namun, sebuah survei kecil yang saya
lakukan terhadap 186 responden murid-murid
saya di SMAN 2 Jombang menunjukkan fakta menarik: fitur story jauh lebih diminati
dibanding feed. Fenomena ini mengundang pertanyaan yang lebih dalam—mengapa
story lebih dipilih, dan apa maknanya dalam lanskap budaya digital kita?
Dari hasil survei
tersebut, sebanyak 143 responden atau sekitar 76,9% menyatakan bahwa
mereka lebih sering mengunggah konten ke Instagram Story dibandingkan feed.
Hanya 9 orang atau sekitar 4,8% yang mengaku lebih suka menggunakan
feed, sementara sisanya memilih tidak aktif mengunggah atau menggunakan
keduanya secara seimbang. Ketimpangan angka ini cukup signifikan dan
menyiratkan bahwa saat ini, story telah menjadi medium utama dalam
berinteraksi di Instagram.
Apa yang membuat story
begitu dominan?
Jawaban dari para responden
memberikan gambaran yang cukup jernih. Alasan utama yang paling banyak
dikemukakan adalah sifat story yang hanya bertahan selama 24 jam. Ini
memberikan kenyamanan psikologis: pengguna merasa bebas berbagi tanpa khawatir
unggahannya akan terus berada di linimasa. Bagi banyak orang, kemunculan dan
hilangnya story seakan merepresentasikan kehidupan itu sendiri—fana, sesaat,
tetapi tetap bermakna dalam konteksnya.
Alasan lain yang juga kuat
adalah sifat story yang lebih santai dan informal. Banyak responden
menyebut feed sebagai ruang yang “terlalu serius”, menuntut estetika, dan penuh
tekanan sosial untuk tampil sempurna. Sebaliknya, story dianggap lebih spontan
dan otentik. Seseorang bisa dengan mudah membagikan foto makanan, video lucu,
atau momen singkat tanpa harus berpikir panjang soal filter, caption, atau
komposisi visual. Story memberi ruang bagi ekspresi yang “apa adanya”—dan ini
tampaknya lebih sesuai dengan kebutuhan emosional banyak pengguna saat ini.
Fitur-fitur interaktif di
story juga menjadi daya tarik tersendiri. Stiker polling, pertanyaan, emoji
slider, dan mention memberi pengalaman yang lebih hidup dan dinamis. Story
tidak hanya menjadi tempat “memamerkan” kehidupan, tetapi juga membangun
komunikasi dua arah yang ringan dan menyenangkan.
Selain itu, story
memberikan kendali privasi yang lebih besar. Fitur seperti “close friends”
memungkinkan pengguna memilih siapa saja yang bisa melihat unggahan mereka. Ini
menjadi solusi bagi mereka yang ingin berbagi tanpa membuka diri sepenuhnya
kepada publik.
Meski demikian, mereka yang
tetap memilih feed sebagai media unggahan utama bukan berarti tidak relevan.
Umumnya, pengguna jenis ini memiliki pendekatan yang lebih terstruktur dan
tujuan yang lebih strategis. Feed dianggap sebagai arsip digital jangka
panjang, cocok untuk menyimpan momen penting, membangun personal branding, atau
menyebarkan pesan yang lebih serius dan berdampak. Feed menjadi semacam
“etalase identitas” yang ingin ditampilkan ke dunia—lebih rapi, tertata, dan
dirancang dengan lebih banyak pertimbangan.
Namun, jumlah mereka memang
minoritas. Bahkan sebagian besar dari mereka menggunakan feed secara terbatas,
biasanya untuk unggahan acara penting, proyek tugas
dari guru, atau dokumentasi kegiatan komunitas.
Ada juga kelompok pengguna
yang jarang atau bahkan tidak pernah mengunggah konten, jumlahnya sekitar
20-an orang. Mereka menyebut berbagai alasan, mulai dari malu tampil di media
sosial, tidak punya bahan unggahan, hingga kekhawatiran atas dampak unggahan
terhadap privasi atau hubungan sosial. Mereka ini lebih memilih menjadi
“penonton” daripada “pemain” dalam ekosistem media sosial.
Apa makna dari tren ini?
Pertama, dominasi story
menunjukkan adanya pergeseran budaya digital dari kebutuhan
dokumentasi permanen menuju ekspresi instan yang bersifat situasional. Kita
hidup di era ketika segala sesuatu bergerak cepat, termasuk cara kita berbagi
cerita. Story menjadi representasi ideal dari ritme zaman—cepat, fleksibel, dan
mudah dihapus jika perlu.
Kedua, preferensi terhadap
story menunjukkan bahwa pengguna semakin sadar akan pentingnya kontrol
atas jejak digital mereka. Mereka tidak ingin setiap unggahan menjadi rekam
jejak permanen yang suatu saat bisa disalahartikan atau disalahgunakan. Dalam
konteks ini, story memberi rasa aman dan ruang bermain yang luas.
Ketiga, fenomena ini
membuka peluang besar, terutama bagi para pendidik, content creator, dan pegiat
dakwah atau sosial. Story bisa menjadi media edukasi yang ringan namun efektif,
kampanye nilai-nilai positif, atau ajang promosi kegiatan komunitas yang
bersifat real-time. Kita hanya perlu memahami cara kerja dan pola pikir
pengguna, lalu menyesuaikan gaya penyampaian pesan.
Namun tentu saja, perlu ada
keseimbangan. Feed tetap penting untuk konten-konten yang lebih permanen dan
memiliki nilai jangka panjang. Dengan memadukan story dan feed secara bijak,
pengguna dapat membangun narasi diri yang lengkap: yang sesekali estetik dan
serius, tetapi juga hangat, spontan, dan manusiawi.
Akhirnya, media sosial,
khususnya Instagram, bukan hanya soal unggah-mengunggah. Ia adalah cermin dari
cara kita melihat dunia dan diri sendiri. Dalam memilih story daripada feed,
kita bisa melihat bagaimana manusia modern berusaha tetap hadir, berkomunikasi,
dan menjadi diri sendiri—dalam ruang yang cepat berubah, tetapi tetap ingin
dimaknai.[pgn]
Nine Adien Maulana, Guru PAI SMAN 2 Jombang-Guru Penggerak Angkatan 9 tahun 2024
0 Komentar