![]() |
Murid-murid kelas XI-4 SMAN 2 Jombang mendiskusikan fungsi kearifan lokal bagi masyarakat. |
[Jombang, Pak Guru
NINE] - Siang
itu, langit Jombang berwarna biru pucat, seolah mengisyaratkan hari yang
tenang. Di ruang kelas XI-4 SMAN 2 Jombang, kursi-kursi sudah disusun membentuk
lingkaran. Para siswa duduk santai, menunggu apa kejutan hari ini dalam pembelajaran Projek Penguatan
Profil Pelajar Pancasila.
Aku, guru mereka, masuk kelas itu dengan sapaan salam keceriaan, kemudian memulai percakapan dengan senyum khas.
"Ada yang tahu," kataku
sambil memandang mereka satu per satu, "apa fungsi kearifan lokal bagi
masyarakat kita?"
Sejenak
hening, sampai akhirnya Adelia
mengangkat tangan. "Mempererat solidaritas, Pak. Kayak slametan di
kampung, semua orang ikut."
Aku
mengangguk. "Solidaritas itu pondasi kebersamaan kita. Ada tambahan?"
Ali,
yang biasanya pendiam, ikut bicara, "Tumbuhkan tanggung jawab juga, Pak.
Tiap orang punya peran dalam acara adat."
"Benar!
Dalam budaya, kita belajar saling menopang."
Astrid
menambahkan, "Kadang kalau ada masalah kecil di kampung, diselesaikan
lewat musyawarah adat, Pak."
Aku
tersenyum. "Luar biasa. Musyawarah itu, kearifan yang sering kita lupakan
di zaman serba cepat ini."
Di
sudut lingkaran, Adhistira
mengangkat tangan. Wajahnya berseri-seri.
"Kearifan
lokal melestarikan budaya turun-temurun, Pak. Kalau nggak, anak cucu kita bisa
lupa jati dirinya."
"Setuju,"
sahutku. "Tradisi adalah jembatan kita dengan masa lalu."
Aku
melangkah ke tengah lingkaran, memastikan semua mata memperhatikanku.
"Kearifan
lokal bukan cuma soal budaya atau adat. Ada fungsi ekonominya juga. Ada yang
tahu?"
Amel mengangkat tangan
cepat. "Bisa ngembangin pariwisata, Pak. Tradisi kayak undhuh-undhuh itu
bisa menarik banyak orang."
"Bagus,
Amel!"
kataku. "Tradisi yang dijaga dengan baik, bisa menggerakkan ekonomi
lokal."
Aku
menatap Lala, yang tampak merenung. "Vivi, mau menambahkan?"
Dia
tersenyum kecil. "Kalau saya, Pak, kearifan lokal itu benteng. Di tengah
modernisasi, dia yang menjaga identitas kita."
Aku
tersenyum bangga. "Pohon besar tetap kokoh karena akarnya kuat. Sama
seperti kita."
Angin
sepoi masuk lewat jendela, membawa aroma pagi. Aku bertanya lagi, "Kalau
kalian tahu kearifan lokal di sekitar kalian masih dijaga, apa yang kalian
rasakan?"
Pradana menjawab
tanpa ragu, "Bangga, Pak. Rasanya kayak... punya rumah yang tetap berdiri,
walau badai datang."
Andita
mengangguk. "Iya, Pak. Ada rasa aman. Tradisi itu ngasih rasa nyaman,
kayak pulang ke pelukan keluarga."
Aku
menghela napas lega. "Perasaan seperti itu yang harus kalian rawat. Dari
situ, lahir cinta pada budaya sendiri."
Aku
lalu menatap mereka dengan dalam. "Sadarkah kalian? Di dunia yang terus
berubah ini, kearifan lokal mengajarkan kita sabar, rukun, dan hormat pada
alam."
Chelsea,
dengan mata berbinar, berkata, "Tradisi kayak puasa ketupat ngajarin kita
buat kumpul dan berbagi, Pak. Meski zaman udah digital semua."
Aku
mengangguk. "Betul, Chelsea.
Tradisi sederhana mengajarkan nilai besar: tentang kebersamaan."
Anfito
bertanya, "Pak, kalau begitu, menjaga kearifan lokal sama pentingnya kayak
menjaga identitas bangsa, ya?"
"Lebih
dari itu," jawabku. "Itu soal menjaga siapa kita sebenarnya."
Suasana
kelas terasa hangat. Mata-mata penuh harapan menatapku.
"Kearifan
lokal," lanjutku, "membentuk karakter luhur: gotong royong,
solidaritas, rasa syukur, hubungan harmonis dengan alam."
Nayla bertanya,
"Pak, kalau kita menjaga kearifan lokal, berarti kita juga menjaga masa
depan bangsa?"
Aku
tersenyum. "Tepat sekali, Nayla.
Kalian jembatan antara masa lalu dan masa depan. Tanpa kalian, tradisi bisa
mati. Tapi dengan kalian, tradisi bisa hidup—dengan bentuk baru yang tetap
berjiwa lama."
Di
luar kelas, angin bertiup lembut, seakan mengamini kata-kata itu.
"Kita
tidak cukup hanya menjadi penonton perubahan," kataku lagi. "Kita
harus menjadi bagian dari perubahan itu. Menjaga api warisan leluhur agar tetap
menyala meski diterpa angin zaman."
Uzma
mengangkat tangan. "Pak, berarti kita harus kreatif ya? Biar tradisi tetap
menarik buat generasi kita?"
"Benar,
Uzma. Kreatif, tapi
jangan hilangkan jiwanya. Misal, buat festival budaya, atau angkat kearifan
lokal di media sosial."
Rama
menambahkan, penuh semangat, "Pak, berarti tugas kita bukan cuma
melestarikan, tapi menghidupkan kearifan lokal, ya?"
Aku
menatap seluruh kelas, perlahan.
"Kalian
ini luar biasa," kataku tulus. "Kalian penjaga api itu. Penjaga
nilai. Penjaga cerita."
Suasana
kelas hening sejenak, tapi bukan karena bosan. Ada semangat yang tumbuh di
udara; semangat yang berbeda, lebih hangat, lebih hidup.
Baca juga!
Suara Generasi Muda tentang Kearifan Lokal
0 Komentar