Ayo Memaafkan, demi Hati yang Sehat!

 

Dalam Al-Qur’an, yang lebih sering diperintahkan adalah memaafkan, bukan meminta maaf!

[Jombang, Pak Guru NINE] - Rabu siang, 23 April 2025, langit Jombang tampak teduh, seolah menyambut kehangatan yang akan terjadi di Ruang Pertemuan Kantor Pusat Pondok Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan. Di tempat ini, Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (DP MUI) Kabupaten Jombang menyelenggarakan acara Halal Bi Halal dan rapat koordinasi bersama seluruh jajaran komisi. Sebuah momen yang tak sekadar ajang temu wicara, namun juga ruang batin untuk menyucikan jiwa dari keluh-kesah dan dendam yang tertimbun selama sekian waktu.

Namun ada satu bagian yang paling membekas dalam benak saya—yakni materi sambutan tentang pesan utama Halal Bi Halal yang disampaikan oleh Ketua Umum DP MUI Jombang, Dr. KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi, Lc. MA, atau yang akrab disapa Gus Awis. Dengan ketegasan yang lembut dan landasan yang kokoh dari ayat-ayat suci Al-Qur’an, beliau mengajak seluruh hadirin untuk menghidupkan kembali semangat Islam sebagai rahmat—bukan hanya bagi yang seiman, tetapi bagi seluruh alam.

Jalan Tengah antara Balas Dendam dan Pasrah Total

Salah satu hal menarik dari penjelasan Gus Awis adalah perbandingan antara tiga syariat besar: Yahudi, Nasrani, dan Islam. Syariat Yahudi disebut sebagai Syariatul Haqq, yakni menekankan keadilan formal, hukum qishas: mata dibalas mata, gigi dibalas gigi (QS. Al-Maidah: 45). Sementara syariat Nasrani membawa Syari’atul Hubb cinta kasih tanpa batas, bahkan jika ditampar pipi kanan, dianjurkan memberikan pipi kiri (QS. Al-Hadid: 27).

Lalu bagaimana dengan Islam? Islam hadir sebagai Syariatur Rahmah, yakni syariat kasih sayang dan keadilan sekaligus. Islam tidak menafikan hak untuk membalas, tetapi memuliakan pilihan untuk memaafkan. Allah paham bahwa manusia memiliki hasrat untuk mempertahankan kehormatan diri, namun Dia juga tahu bahwa memaafkan jauh lebih menyehatkan batin.

Enam Pilihan dalam Menghadapi Kedzaliman

Dalam Islam, ada enam cara menyikapi kedzaliman. Dan menariknya, tiga di antaranya tidak mengangkat kita ke derajat takwa, sementara tiga sisanya adalah tangga dasar menuju ke sana.

1.    Membalas secara berlebihan (al-i’tida’)

Ini dilarang keras! QS. Al-Baqarah: 190 menegaskan: “Janganlah kamu melampaui batas. Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.”

2.    Membalas dengan setimpal

Ini boleh, bahkan diizinkan dalam QS. An-Nahl: 126. Tapi ingat, sabar itu lebih baik!

3.    Membalas dengan ucapan buruk

Ini juga boleh, dengan syarat kamu dizalimi (QS. An-Nisa: 148). Tapi ini bukanlah akhlak ideal.

4.    Menahan amarah

Kedudukan ini mulai masuk derajat takwa. Inilah al-kazhimina al-ghaizh yakni orang yang bisa mengendalikan kemarahan.

5.    Memaafkan

Ini lebih mulia lagi. Allah mencintai orang yang bisa ‘aafinaa ‘anin naas, yakni memaafkan sesama manusia.

6.    Membalas keburukan dengan kebaikan

Ini maqam wali, posisi spiritual tertinggi. Allah menyebut orang-orang ini sebagai muhsinin, orang-orang yang berbuat baik.

Semua ini terangkum dalam QS. Ali Imran: 134. Dari enam pilihan tersebut, minimal kita bisa berlatih berada di tingkat kelima—memaafkan. Tidak perlu menunggu orang yang bersalah meminta maaf. Memaafkan bisa lebih dulu kita lakukan, demi menjaga hati agar tetap bersih dan jiwa tetap sehat.

Menyembuhkan Luka Batin

Di sinilah makna Halal Bi Halal menjadi sangat relevan. Di masyarakat kita, momen ini telah menjadi tradisi khas pasca-Ramadhan untuk saling memaafkan. Tapi, sayangnya, seringkali hanya berhenti pada formalitas ucapan: “Mohon maaf lahir batin.” Padahal, esensinya jauh lebih dalam.

Memaafkan bukanlah tanda kelemahan, justru itulah puncak kekuatan. Sebab, seperti disampaikan Gus Awis, ketika kita memaafkan, kita sedang melatih keikhlasan, sehingga hati kita menjadi plong. Kita sedang menyembuhkan diri sendiri dari luka-luka yang tak kasat mata. Dan yang lebih penting, kita sedang menunjukkan kualitas iman yang hakiki.

Halal Bi Halal bukan soal siapa yang salah lebih dulu atau siapa yang lebih besar egonya. Ini soal keberanian untuk membersihkan hati tanpa menunggu orang lain berubah. Ini soal memilih sehatnya hati daripada keras kepala yang tak kunjung reda.

Satu kalimat dari Gus Awis yang mengusik kesadaran saya adalah: “Dalam Al-Qur’an, yang lebih sering diperintahkan adalah memaafkan, bukan meminta maaf.”

Betapa sering kita berharap orang lain berubah, minta maaf, mengaku salah. Tapi lupa bahwa kita sendiri bisa menjadi pengubah suasana dengan satu kata: “Aku maafkan.” Bukan karena mereka benar, tapi karena kita ingin bahagia.

Dan tahukah Anda? Memaafkan bukan hanya menyembuhkan hati kita, tapi juga mempercepat kematangan spiritual. Dari meredam sakit hati kepada orang lain, kita melompat menjadi pribadi takwa. Dari dendam yang membara, kita berubah menjadi cahaya.

Allah Menyukai Orang-orang yang Memaafkan

Halal Bi Halal bukan sekadar tradisi pasca-Lebaran. Ia adalah momen hijrah batin. Dari dendam ke damai. Dari kekecewaan ke kelegaan. Dari ketegangan ke pelukan hangat yang menyejukkan.

Mari kita jadikan momen ini sebagai titik balik. Tidak harus menjadi wali yang membalas keburukan dengan kebaikan. Tapi cukup memaafkan saja, sudah sangat mulia. Karena itulah yang membuat kita naik derajat di sisi Allah.

Ayo memaafkan. Bukan karena mereka pantas, tapi karena kita ingin hati yang sehat, hidup yang damai, dan Allah yang ridha. Sebab, sebagaimana Allah sebut dalam QS. Ali Imran: 134, “Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”

Semoga Halal Bi Halal tahun ini bukan hanya acara tahunan biasa, tetapi langkah awal menuju hidup yang lebih lapang, penuh rahmat, dan saling sayang antar sesama manusia.[pgn]

 

Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang-Sekretaris DP MUI Kabupaten Jombang


Posting Komentar

0 Komentar