Alternatif Solusi atas Problematika Guru PAIS

 

Pak Guru NINE memandu murid-muridnya dalam program penulisan Mushaf Al-Quran yang diselenggarakan oleh bidang PAIS Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Guru Pendidikan Agama Islam di Sekolah  (PAIS) memiliki peran yang sangat vital. Mereka adalah penjaga ruhani, pembentuk karakter, dan penanam nilai-nilai moral pada generasi penerus bangsa. Namun ironisnya, nasib mereka sering kali kurang beruntung dibandingkan guru lainnya. Keberadaan mereka terjepit dalam tarik-menarik kewenangan antara Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Pendidikan melalui Pemerintah Daerah. Padahal secara regulatif, posisi mereka sudah cukup jelas, bahkan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Persoalan muncul bukan karena ketiadaan hukum, tetapi pada pelaksanaan dan koordinasi antarinstansi yang sering kali tidak sinkron.

Guru PAIS berada dalam pembinaan teknis dan fungsional Kementerian Agama, sementara urusan kepegawaian, penggajian, dan penempatan mereka diatur oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas Pendidikan. Di sinilah letak simpul masalahnya. Ketika ada hak-hak yang seharusnya diterima, seperti Tunjangan Hari Raya (THR) dan Gaji 13, guru PAIS sering kali tidak mendapatkannya karena adanya saling lempar tanggung jawab antara instansi pusat dan daerah. Akibatnya, guru PAIS seperti menjadi “anak tiri” yang tidak sepenuhnya diakui oleh kedua lembaga tersebut. Ini bukan sekadar soal administrasi, tetapi sudah menyangkut rasa keadilan dan penghargaan atas profesi mereka.

Alternatif 1: Menarik Guru PAIS ke Kementerian Agama

Melihat kenyataan ini, salah satu alternatif solusi yang patut dipertimbangkan adalah menarik seluruh guru PAIS menjadi bagian langsung dari Kementerian Agama. Dengan demikian, seluruh proses pembinaan, pengembangan karir, tunjangan, hingga penggajian dikelola dalam satu atap. Solusi ini menjanjikan efektivitas dan efisiensi birokrasi, karena tidak lagi ada tarik-menarik kewenangan antarinstansi. Guru PAIS akan lebih mudah mendapatkan hak-haknya karena sudah menjadi bagian dari satu sistem yang terintegrasi.

Namun tentu saja, konsekuensinya tidak ringan. Pemerintah harus menyiapkan struktur baru, regulasi tambahan, dan anggaran yang tidak kecil. Belum lagi proses adaptasi yang harus dilalui oleh guru PAIS sendiri. Akan ada fase transisi yang membutuhkan pendampingan serius, baik dari sisi administrasi maupun pelatihan ulang agar sesuai dengan sistem yang ada di Kemenag. Tetapi dalam jangka panjang, skema ini menjanjikan stabilitas dan kepastian, terutama dalam pembinaan berbasis nilai-nilai keagamaan yang memang menjadi ranah Kemenag. Dengan sistem ini pula, kualitas pendidikan agama bisa lebih terjaga karena berada dalam pengawasan instansi yang relevan secara substansi.

Alternatif 2: Mengembalikan Guru PAIS ke Kementerian Pendidikan dan Pemda

Alternatif kedua adalah sebaliknya, yaitu menjadikan guru PAIS sepenuhnya di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan dan Pemerintah Daerah. Alternatif ini menjadi aspirasi yang paling kuat dari para guru PAIS, karena memang aslinya mereka diangkat oleh Pemerintah Daerah sebagai Aparatur Sipil Negara. Mereka akan diperlakukan sama dengan guru mata pelajaran lainnya. Keuntungannya, pengelolaan kepegawaian akan lebih seragam. Pemda lebih leluasa mengatur penempatan, pengembangan karir, dan kesejahteraan mereka. Dari sisi anggaran, Pemda pun lebih mudah mengalokasikan dana seperti THR dan Gaji 13 tanpa harus menunggu regulasi dari kementerian lain.

Namun, tantangan utamanya adalah bagaimana memastikan bahwa aspek pembinaan keagamaan tidak menjadi sekadar formalitas. Pendidikan agama bukan hanya soal kurikulum, tetapi juga pembinaan nilai dan karakter yang khas. Tanpa pengawasan dari Kemenag, dikhawatirkan esensi pendidikan agama akan berkurang. Maka, jika opsi ini diambil, sinergi antara Dinas Pendidikan dan instansi keagamaan daerah harus betul-betul diperkuat. Harus ada jaminan bahwa meskipun secara administratif guru PAIS berada di bawah Pemda, namun secara substansial tetap ada pengawasan dan pembinaan dari pihak yang kompeten dalam bidang agama.

Alternatif 3: Memperkuat Sinergi Dua Lembaga

Alternatif ketiga adalah mempertahankan skema yang ada saat ini, namun dengan catatan: komunikasi dan koordinasi antara Kemenag dan Pemda harus ditingkatkan secara signifikan. Ini memang terdengar sederhana, tetapi dalam praktiknya sangat sulit. Selama ini, lemahnya koordinasi inilah yang justru menimbulkan berbagai persoalan teknis di lapangan. Banyak guru PAIS yang merasa tidak memiliki akses yang memadai terhadap pembinaan karir maupun kejelasan hak-hak mereka.

Padahal, kalau dua instansi ini mau duduk bersama, menyusun mekanisme kerja yang terintegrasi, dan berkomitmen untuk saling melengkapi, banyak persoalan bisa diselesaikan. Kelebihan dari skema ini adalah tidak perlu melakukan perubahan regulasi besar-besaran. Namun kelemahannya juga jelas: selama tidak ada komitmen yang kuat dari kedua pihak, maka guru PAIS tetap akan berada di tengah pusaran birokrasi yang berbelit dan saling menyalahkan. Maka diperlukan instruksi yang lebih kuat dari tingkat pusat, bahkan mungkin dalam bentuk peraturan presiden, agar sinergi itu tidak hanya sekadar harapan.

Pada akhirnya, pilihan mana pun yang diambil, semuanya memiliki risiko dan konsekuensi masing-masing. Namun, satu hal yang perlu ditegaskan adalah bahwa guru PAIS tidak boleh terus-menerus menjadi korban dari tarik-menarik kebijakan antarinstansi. Mereka juga memiliki hak untuk hidup sejahtera, dihargai secara profesional, dan didukung dalam mengembangkan potensi mereka sebagai pendidik. Negara tidak boleh abai terhadap kontribusi besar mereka dalam membentuk karakter anak bangsa.

Keberpihakan dan Komitmen Politik

Esensi dari semua alternatif ini sebenarnya adalah soal keberpihakan dan komitmen politik. Jika pemerintah benar-benar memandang penting peran pendidikan agama dalam pembangunan karakter bangsa, maka seharusnya nasib guru PAIS menjadi prioritas dalam penyusunan kebijakan nasional. Kita tidak bisa membangun generasi berakhlak mulia tanpa memperhatikan para pendidiknya.

Sudah saatnya kita berhenti menjadikan guru PAIS sebagai pihak yang hanya dituntut kewajibannya, tetapi dilupakan hak-haknya. Baik Kementerian Agama maupun Kementerian Pendidikan, serta seluruh jajaran pemerintah daerah, harus duduk bersama dalam semangat kolaborasi, bukan rivalitas. Hanya dengan cara itu, kita bisa benar-benar memastikan bahwa guru PAIS tidak lagi terpinggirkan, tetapi mendapatkan tempat yang layak dan terhormat di tengah sistem pendidikan nasional kita.

Guru PAIS berhak atas masa depan yang jelas, sejahtera, dan bermartabat. Dan itu bukanlah sebuah kemewahan—melainkan keadilan yang semestinya mereka terima sejak lama.[pgn]


Nine Adien Maulana, Guru PAIS SMAN 2 Jombang - Guru Penggerak Angkatan 9 tahun 2024

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Kami sepakat dg opsi ketiga
    GPAI ttp mngikuti regulasi pemkab dalam hal pengangkatan n panggajian dan ttp brada di bawah naungan Kemenag dalam peningkatan kompetensi
    Pendekatan yg paling signifikan melalui kursi dewan, seperti yg dlakukan kami GPAI jember, alhasil tidak ada komunikasi n kordinasi yh tdk membuahkan hasil
    Pemkab kalaupun harus dipaksakan mmberikan n mngeluarkan tunjangan apapun jika komunikasi dg DPRD stempat tdk singkron, mka akan menemui jalan buntu
    Baik badan eksekutif maupun yudikatif harus diajak kordinasi tuk bersinergi
    🙏🙏🙏

    BalasHapus
Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)