![]() |
Seharusnya penamaan zakat yang kita keluarkan di akhir Ramadan lebih tepat disebut "zakat fitri," karena zakat ini terkait dengan makan atau berbuka dari bulan puasa. |
[Jombang, Pak Guru
NINE] - Setiap bulan Ramadan,
umat Islam di seluruh dunia memiliki kewajiban membayar zakat yang sering
disebut sebagai "zakat fitrah." Namun, tahukah kita bahwa istilah ini
sebenarnya kurang tepat? Ya, dalam bahasa Arab, zakat ini disebut "zakat
al-fitr" (زكاة الفطر), yang lebih sesuai jika diterjemahkan sebagai "zakat
fitri." Tapi entah bagaimana, di Indonesia istilah yang lebih populer
justru "zakat fitrah." Lalu, apa dampaknya? Apakah ini hanya soal
istilah, atau ada konsekuensi lebih jauh dari kesalahkaprahan ini?
Fitrah dan Fitri, Apa Bedanya?
Kesalahan ini mungkin terlihat sepele,
tapi jika kita telaah lebih dalam, ada makna yang terbolak-balik di balik
penyebutan ini. Dalam bahasa Arab, kata fithrah (فطرة)
memiliki arti "kesucian asal" atau "kodrat manusia." Para
ulama sering mengartikan fitrah sebagai keadaan manusia saat lahir, yang suci
dari dosa dan cenderung kepada kebaikan serta keimanan. Sementara itu, kata fithr
(فطر) memiliki makna yang sangat berbeda. Kata ini berkaitan dengan
"makan" atau "berbuka," seperti dalam kata ifthar (إفطار)
yang berarti "berbuka puasa."
Jadi, seharusnya zakat yang kita
keluarkan di akhir Ramadan lebih tepat disebut "zakat fitri," karena
zakat ini terkait dengan berbuka dari bulan puasa, bukan dengan konsep kesucian
asal manusia. Tapi mengapa masyarakat lebih akrab dengan istilah "zakat
fitrah"?
Salah Kaprah yang Mengakar
Kesalahan ini tampaknya terjadi karena
penyebutan yang sudah berlangsung turun-temurun di Nusantara. Bahkan Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun sudah mengesahkan "zakat fitrah"
sebagai istilah baku. Akibatnya, mayoritas orang tidak lagi mempertanyakan
apakah istilah ini benar atau tidak, karena sudah dianggap wajar dan diterima
secara luas.
Namun, permasalahan tidak berhenti sampai di situ. Kesalahpahaman ini sering kali diperparah oleh penjelasan para muballigh yang menghubungkan "zakat fitrah" dengan makna fitrah sebagai "kesucian." Banyak di antara mereka yang menyampaikan bahwa zakat fitrah adalah bentuk penyucian diri atau kembali ke keadaan suci. Padahal, dari sudut pandang bahasa Arab, ini kurang tepat. Secara bahasa Zakat fitri lebih tepat diartikan sebagai zakat yang berhubungan dengan makanan daripada kesucian jiwa.
Konsekuensi dari Pemahaman yang Keliru
Kesalahan dalam istilah ini memang
tidak mengubah esensi kewajiban zakat itu sendiri. Umat Islam tetap wajib mengeluarkan
zakat itu pada bulan
Ramadan dengan maksud membantu mereka yang kurang mampu. Namun, jika dibiarkan,
kesalahan pemahaman ini bisa berdampak lebih luas. Berikut beberapa di
antaranya:
- Salah Konteks
dalam Pemahaman
Karena istilah "fitrah" lebih
sering dikaitkan dengan kesucian, banyak orang beranggapan bahwa zakat ini
adalah bentuk penyucian diri dari dosa. Padahal, dalam hukum Islam, zakat
al-fitr bertujuan agar tidak ada orang yang kelaparan saat Idul Fitri. Oleh karena itu bisa dipahami mengapa zakat fitrah ini harus dikeluarkan
dalam bentuk makanan pokok penduduk negeri setempat.
- Pemaknaan yang
Meluas ke Idul Fitri
Kesalahan ini juga berdampak pada
pemahaman tentang "Idul Fitri." Banyak yang mengartikan Idul Fitri
sebagai "hari kembali ke fitrah," padahal makna aslinya adalah
"hari raya berbuka." Pada tanggal 1 Syawal, umat Islam diwajibkan makan atau diharamkan
berpuasa, dan ini menjadi alasan mengapa hari itu disebut "Idul
Fitri." Jika kita memahami makna ini dengan benar, kita akan menyadari
bahwa Idul Fitri lebih berkaitan dengan kewajiban untuk makan daripada sekadar
simbol kembali ke kesucian.
- Inkonsistensi
dalam Pengajaran Islam
Jika para muballigh terus menerus
menggunakan istilah yang salah dan menghubungkannya dengan makna yang keliru,
generasi berikutnya akan terus menerima pemahaman yang sama. Ini bisa
menciptakan distorsi dalam pemahaman ajaran Islam yang lebih luas.
Bagaimana Seharusnya?
Sebagai umat Islam yang ingin memahami
agama dengan benar, kita sebaiknya lebih teliti dalam memilih kata dan istilah.
Meskipun dalam konteks Indonesia "zakat fitrah" sudah baku, tidak ada
salahnya jika kita meluruskan pemahamannya. Beberapa langkah yang bisa dilakukan
antara lain:
- Menggunakan
Istilah yang Lebih Tepat
Jika memungkinkan,
kita bisa mulai menggunakan istilah "zakat fitri" dalam percakapan
sehari-hari atau dalam kajian-kajian keislaman. Walaupun sulit mengubah istilah yang
sudah terlanjur baku, setidaknya kita bisa memperbaiki pemahaman kita sendiri.
- Menjelaskan
dengan Pemahaman yang Benar
Para muballigh dan guru agama memiliki
peran penting dalam meluruskan kesalahpahaman makna ini. Saat menjelaskan tentang zakat
fitri, hendaknya mereka menyampaikan bahwa ini adalah zakat makanan, bukan
zakat penyucian jiwa. Begitu juga dengan Idul Fitri, yang seharusnya dipahami
sebagai "hari berbuka," bukan "hari kembali suci."
- Mengedukasi
Generasi Muda
Anak-anak dan generasi muda perlu
diberikan pemahaman yang benar sejak dini. Jika mereka sejak kecil sudah
memahami bahwa zakat al-fitr adalah zakat makanan, maka kesalahan pemaknaan ini
tidak akan berlanjut ke generasi berikutnya.
Simpulan
Kesalahan istilah "zakat
fitrah" yang seharusnya "zakat fitri" mungkin terlihat kecil, tapi
ternyata memiliki dampak yang cukup besar dalam cara kita memahami ajaran
Islam. Ketidaktepatan ini telah menyebabkan salah kaprah dalam pemaknaan zakat
dan Idul Fitri yang berlangsung terus-menerus. Oleh karena itu, penting bagi
kita untuk mulai meluruskan pemahaman ini, agar ajaran Islam tidak hanya
dipahami secara turun-temurun, tetapi juga secara ilmiah dan sesuai dengan
makna aslinya.
Pada akhirnya, ini bukan sekadar soal istilah, tetapi soal bagaimana kita memahami dan mengamalkan ajaran Islam dengan lebih tepat. Jika kita bisa mulai dari hal kecil seperti memahami istilah dengan benar, maka kita juga akan lebih teliti dalam memahami ajaran Islam secara keseluruhan. Jadi, sudah siapkah kita untuk mulai menyebutnya "zakat fitri"? [pgn]
Nine Adien Maulana, GPAI SMAN 2 Jombang
0 Komentar