Meskipun substansi pesan cerita ini adalah faktual, namun serba-serbi cerita ini adalah fiktif. |
[Jombang,
Pak Guru NINE]
- Jumat, 20 Desember 2024, adalah hari yang spesial di SMA Angan-Angan. Hari
itu, para wali murid berkumpul di ruang kelas XI-4 untuk menerima rapor
putra-putri mereka. Sebagai wali kelas, Pak Guru NINE telah mempersiapkan acara
ini dengan sungguh-sungguh. Pagi itu, ia berdiri di depan meja kerjanya,
memastikan segala sesuatunya siap: tumpukan rapor tersusun rapi, flyer
perkenalan lengkap dengan kontak pribadinya, dan catatan penting yang akan
disampaikan kepada para wali murid.
Pukul
08.30, acara dimulai. Wali murid mulai memenuhi kelas. Beberapa saling bertegur
sapa, sementara yang lain tampak sibuk dengan ponsel mereka. Pak Guru NINE
membuka pertemuan dengan senyum hangat, memperkenalkan diri, dan memberikan
sambutan. “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi Bapak/Ibu
sekalian. Hari ini, kita akan bersama-sama membahas hasil belajar putra-putri
kita selama satu semester. Sebelum itu, perkenankan saya memperkenalkan diri.
Saya, Nine Adien Maulana, wali kelas XI-4. Silakan menghubungi saya kapan saja
melalui kontak yang ada di flyer yang telah saya bagikan.”
Para
wali murid mendengarkan dengan beragam ekspresi. Ibu Ratna, yang duduk di pojok
kanan, tampak sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. Tak lama, sebuah notifikasi
masuk di ponsel Pak Guru NINE. “Pak Guru, bisa didahulukan pembagian rapor anak
saya? Saya ada acara lain,” tulis Ibu Ratna. Pak Guru NINE tersenyum kecil,
memahami kesibukannya, namun tetap mengikuti urutan pembagian rapor sesuai
daftar yang telah disiapkan.
Sementara
itu, Ibu Lila memasuki ruangan dengan dandanan mencolok. Begitu melihat Ibu
Dina, teman lamanya, ia langsung mengeluarkan ponsel dan berseru, “Bu Dina, ayo
kita swafoto! Momen langka ini harus diabadikan.” Mereka tertawa bersama,
mengabaikan pandangan heran dari beberapa wali murid lainnya. Di sisi lain, Pak
Rahmat, dengan penampilan sederhana namun serius, duduk tenang di barisan
depan, menyimak penjelasan Pak Guru dengan penuh perhatian.
Pak
Guru NINE melanjutkan dengan menjelaskan filosofi penilaian sekolah. “Bapak/Ibu,
nilai rapor bukan sekadar angka. Nilai adalah simbol penguasaan kompetensi,
cerminan sikap, dan hasil kerja keras anak-anak kita selama satu semester. Ada
nilai yang meningkat, stabil, atau bahkan menurun. Semua ini adalah refleksi
yang harus kita evaluasi bersama.”
Ia
kemudian memberikan tips membaca rapor. “Pertama, bandingkan nilai semester ini
dengan semester sebelumnya. Jika meningkat, itu berarti anak kita menunjukkan
kemajuan. Jika stabil, itu wajar, artinya mereka konsisten. Namun, jika menurun,
kita perlu mencari tahu penyebabnya, apakah karena faktor akademik atau
non-akademik. Ingat, nilai juga mencerminkan sikap dan perilaku mereka di
sekolah.”
Ibu
Siska, yang duduk di barisan tengah, mengacungkan tangan. “Pak Guru, kalau ada
anak yang nilai akademiknya bagus tapi sikapnya kurang baik, bagaimana biasanya
sekolah menilai itu?” tanyanya penuh rasa ingin tahu. Pak Guru NINE menjawab
dengan bijak, “Kami berusaha adil, Bu Siska. Namun, sikap dan perilaku tetap
menjadi pertimbangan penting. Karena pada akhirnya, pendidikan bukan hanya soal
angka, tetapi juga soal karakter.”
Setelah
penjelasan selesai, tibalah waktu pembagian rapor. Nama demi nama dipanggil,
dan wali murid maju ke depan untuk menerima rapor. Ibu Ratna, yang lebih dulu
menerima rapor Dani, segera membukanya. Wajahnya berubah serius saat melihat
nilai matematika putranya menurun. “Pak Guru, kenapa nilai Dani turun? Padahal
semester lalu dia bagus sekali,” tanyanya dengan nada protes.
Pak
Guru NINE tersenyum, mencoba menenangkan. “Ibu Ratna, penurunan nilai ini masih
dalam batas wajar. Mungkin Dani perlu lebih fokus di mata pelajaran ini. Saya
akan berdiskusi dengan guru matematikanya untuk mencari solusi.” Ibu Ratna
mengangguk, meski masih tampak kecewa.
Sementara
itu, Ibu Lila, yang sudah menerima rapor anaknya, langsung memotret dan
mengirimkannya ke grup WhatsApp keluarga. “Nilai-nilai Anakku memuaskan. Pasti tetap juara kelas.” tulisnya, diikuti dengan beberapa emotikon senyum dan hati. Namun,
tidak semua wali murid seberuntung itu. Pak Rahmat, yang menerima rapor Rani,
putrinya, tampak termenung. Nilai Rani cukup baik, tetapi tidak ada peningkatan
yang signifikan.
“Pak
Guru, saya ingin Rani lebih termotivasi semester depan. Apa yang bisa saya
lakukan sebagai orang tua?” tanyanya dengan nada tulus. Pak Guru NINE menjawab
dengan bijak, “Pak Rahmat, dukungan keluarga sangat penting. Ajak Rani
berdiskusi tentang apa yang menjadi kendalanya, dan beri apresiasi untuk usaha
kecilnya sekalipun. Saya yakin, dengan kerja sama, kita bisa membantu Rani
lebih berkembang.”
Di
penghujung acara, Pak Guru NINE memberikan trik menarik untuk menjalin
komunikasi yang lebih dekat dengan wali murid. “Bapak/Ibu, jika ingin
mengetahui peringkat kelas anak-anak, silakan kirim pesan ke nomor WhatsApp
saya. Ini juga cara kita menjaga komunikasi.” Trik ini membuat para wali murid
antusias. Setelah pertemuan itu usai, satu per satu mereka mulai mengirim
pesan, menanyakan peringkat anak mereka.
Ada
yang puas, seperti Ibu Siska, yang bangga putrinya berada di peringkat lima
besar. Namun, ada juga yang kecewa, seperti Ibu Ratna, yang merasa Dani layak
mendapat peringkat lebih tinggi. “Pak Guru, Dani kan biasanya di tiga besar.
Kenapa sekarang turun ke peringkat enam?” tulisnya di WhatsApp. Dengan sabar,
Pak Guru NINE menjelaskan bahwa persaingan di kelas XI-4 sangat ketat. “Dani
tetap anak yang hebat, Bu. Mari kita fokus pada perbaikan di semester depan,”
balasnya.
Setelah
pertemuan dengan wali murid kelas XI-4, Pak Guru NINE merenung sejenak. Di
balik rapor-rapor itu, ada perjuangan setiap anak, harapan setiap orang tua,
dan tanggung jawab besar sebagai pendidik. Ia menyadari bahwa nilai bukanlah
tujuan akhir, melainkan langkah awal untuk perjalanan yang lebih baik. Ia
merasa bersyukur bisa menjadi bagian dari proses ini, membantu anak-anak dan
orang tua memahami makna sebenarnya dari pendidikan.
Hari itu, Pak Guru NINE tidak hanya membagikan rapor, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral: pentingnya kerja keras, kejujuran dalam penilaian, dan kolaborasi antara guru dan orang tua dalam mendidik anak. Ia yakin, dengan dukungan yang tepat, anak-anak XI-4 akan terus berkembang, tidak hanya sebagai pelajar, tetapi juga sebagai individu yang berkarakter mulia.[pgn]
0 Komentar