Kejujuran di Tengah Godaan Kecurangan

 

Selama mengikuti ujian semua murid SMAN 2 Jombang dilarang membawa atau menggunakan telefon genggam.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Pelaksanaan Penilaian Sumatif Akhir Semester (PSAS) Ganjil Tahun Pelajaran 2024/2025 di SMAN 2 Jombang berlangsung dengan aturan yang ketat. Salah satunya adalah bahwa setiap siswa dilarang membawa atau menggunakan telefon genggam selama ujian, karena ujiannya berbasis kertas. Jika kedapatan melanggar, telefon genggam mereka akan disita dan hanya bisa diambil oleh orang tua setelah satu hari. Aturan ini dimaksudkan untuk menanamkan kejujuran dan mencegah kecurangan. Namun, seperti air mencari celah, ada saja siswa yang mencoba melanggar demi keuntungan instan.

Berdasarkan pengalaman panitia PSAS ini, mereka yang terjaring pelanggaran dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama adalah mereka yang membawa telefon genggam karena ketidakberuntungan (apes); entah lupa menyimpan atau merasa tidak akan ketahuan. Kedua adalah siswa yang dengan sengaja membawa telefon genggam untuk menyontek dan ketahuan memang menyontek. Kelompok pertama biasanya datang bersama orang tua mereka, menunjukkan penyesalan, dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Sikap ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa peraturan dibuat untuk dipatuhi, bukan dilanggar.

Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok kedua sering kali berusaha mencari celah untuk menghindari tanggung jawab. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan menyuruh orang lain datang ke sekolah mengaku sebagai orang tua mereka untuk mengambil telefon genggam yang disita. Ada yang meminta bantuan kerabat, bahkan menyewa orang luar untuk berpura-pura sebagai ayah atau ibu mereka. Sikap ini bukan hanya mencerminkan kurangnya kesadaran, tetapi juga memperlihatkan keberanian untuk melakukan pelanggaran lanjutan.

Salah satu peristiwa mencolok terjadi ketika seorang siswa menyuruh seseorang yang tidak memiliki hubungan keluarga datang ke sekolah. Orang tersebut mengaku sebagai orang tua siswa dengan tujuan mengambil telefon genggam yang disita. Namun, berkat kejelian pihak sekolah, kebohongan ini berhasil diungkap. Ketika diinterogasi, orang tersebut ketahuan tidak mengetahui detail pribadi siswa yang bersangkutan dan akhirnya mengakui bahwa ia hanyalah suruhan. Dengan penuh rasa malu, ia meninggalkan sekolah tanpa membawa hasil.

Kejadian ini membuka mata semua pihak bahwa kecurangan bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga persoalan moral yang melibatkan banyak pihak. Dalam konteks pendidikan, tindakan seperti ini mencerminkan kegagalan untuk memahami esensi kejujuran sebagai nilai fundamental. Lebih dari itu, tindakan manipulatif semacam ini dapat mencoreng nama baik siswa dan keluarganya.

Pihak sekolah tentu tidak tinggal diam. Orang tua siswa yang bersangkutan dipanggil untuk memberikan penjelasan dan bekerja sama dalam pembinaan anaknya. Dalam diskusi tersebut, terungkap bahwa tidak semua orang tua memahami sejauh mana anak mereka berani mengambil risiko untuk melanggar aturan. Orang tua sering kali terkejut mendengar bahwa anak mereka tidak hanya melanggar, tetapi juga mencoba menutupi kesalahan dengan kebohongan baru.

Di sisi lain, sekolah memberikan sanksi edukatif kepada siswa pelanggar. Sanksi ini bukan untuk menghukum, melainkan untuk mendidik. Bagi siswa yang melanggar aturan karena ketidaksengajaan, sanksi bersifat ringan, seperti peringatan dan tugas tambahan. Namun, bagi mereka yang melakukan pelanggaran dengan sengaja dan mencoba menutupi kesalahan, sanksi lebih tegas diberikan untuk menanamkan kesadaran bahwa kecurangan tidak dapat ditoleransi.

Fenomena kecurangan ini bukan hanya persoalan individu siswa, tetapi juga mencerminkan tantangan dalam dunia pendidikan secara umum. Di era teknologi, akses informasi yang mudah sering kali disalahgunakan untuk mencari jalan pintas. Alih-alih belajar dengan tekun, siswa tergoda untuk mengandalkan gawai mereka untuk menyontek. Ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter menjadi semakin mendesak untuk diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran.

Selain itu, fenomena ini juga mengingatkan kita akan pentingnya peran orang tua dalam mendidik anak. Orang tua tidak cukup hanya mengandalkan sekolah untuk membentuk kepribadian anak, tetapi juga harus aktif memberikan pengawasan dan pembinaan di rumah. Ketika siswa melihat bahwa orang tua mereka menanamkan nilai kejujuran dalam kehidupan sehari-hari, mereka cenderung menginternalisasi nilai tersebut.

Kejadian ini juga menuntut pihak sekolah untuk terus memperbaiki sistem pengawasan dan edukasi. Aturan yang ketat perlu disertai dengan pendekatan yang mendidik. Misalnya, sekolah dapat mengadakan diskusi atau workshop tentang disiplin positif dan pentingnya kejujuran dalam hidup. Melibatkan siswa dalam kegiatan yang menekankan integritas juga dapat membantu mereka memahami dampak negatif dari kecurangan.

Di sisi lain, fenomena ini memberikan pelajaran penting bagi siswa. Mereka harus menyadari bahwa nilai akademik bukanlah segalanya. Kejujuran jauh lebih bernilai daripada sekadar angka di atas kertas. Nilai yang diperoleh melalui kecurangan hanya akan memberikan kepuasan sementara, tetapi meninggalkan beban moral yang sulit dihapus.

Pendidikan sejati adalah proses membentuk karakter, bukan sekadar mengejar prestasi. Ketika siswa diajarkan untuk menghargai proses, mereka akan memahami bahwa keberhasilan yang diperoleh dengan cara yang benar jauh lebih memuaskan daripada hasil instan yang diraih dengan cara yang salah.

Peristiwa kecurangan selama Penilaian Sumatif Akhir Semester Ganjil di SMAN 2 Jombang dan juga di sekolah mana saja seharusnya menjadi refleksi bagi semua pihak. Ini adalah pengingat bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga orang tua dan masyarakat. Dengan kerja sama yang baik, kita dapat membangun generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga berintegritas tinggi.

Kejujuran, pada akhirnya, adalah fondasi dari setiap hubungan; baik hubungan individu dengan dirinya sendiri, maupun dengan orang lain. Jika fondasi ini goyah, segala pencapaian lainnya kehilangan makna. Karena itu, mari bersama-sama menanamkan kejujuran sebagai nilai utama dalam kehidupan, dimulai dari dunia pendidikan.[pgn]


Ditulis berdasarkan pengalaman nyata oleh:

Nine Adien Maulana, ketua Panitia PSAS Ganjil 2024/2025 SMAN 2 Jombang

Posting Komentar

0 Komentar