Cerita Pendek ini ditulis berdasarkan pengalaman keseharian penulisnya dalam menjalankan tugas sebagai seorang guru. |
[Jombang,
Pak Guru NINE] - Hujan deras menyelimuti SMA Angan-angan sejak pagi. Sekolah
favorit di kota Bayangan itu tak hanya terkenal karena prestasinya, tetapi juga
karena kedisiplinannya. Meski cuaca tak bersahabat, suasana di sekolah tetap
sibuk. Hari itu adalah pelaksanaan Penilaian Sumatif Akhir Semester (PSAS)
Ganjil tahun pelajaran 2024/2025. Setiap kelas telah disulap menjadi ruang
ujian, sementara para siswa tenggelam dalam ketegangan mengerjakan soal-soal
yang menanti.
Pak
Haqi, guru senior yang tegas namun penuh humor, berkeliling memantau suasana
ruang ujian. Sorot matanya tajam, mengawasi setiap sudut kelas. Dengan jas
hujan tipis yang masih menggantung di pundaknya, ia tampak seperti seorang
pengawal kejujuran. Ia paham bahwa teknologi yang seharusnya mendukung
pembelajaran juga bisa menjadi jalan pintas bagi mereka yang tergoda untuk
curang.
Saat
berjalan mendekati deretan bangku di bagian tengah, matanya menangkap
gerak-gerik aneh. Lintang, salah satu siswa teladan yang dikenal aktif di
berbagai organisasi, tampak gelisah. Tangannya terlihat menyentuh saku rok
seragamnya. Pak Haqi mendekat dan bertanya dengan nada tegas namun tidak
meninggikan suara.
“Lintang,
ada apa di saku kamu?”
Lintang
mendongak dengan wajah memerah. “Maaf, Pak. Smartphone saya lupa saya simpan di
tas,” jawabnya pelan.
Pak
Haqi mengangguk kecil. “Baik, ponsel ini saya sita dulu. Kamu bisa mengambilnya
nanti melalui panitia.”
Tanpa
banyak membantah, Lintang menyerahkan smartphone-nya. Meski ia tahu dirinya
tidak bermaksud curang, rasa bersalah tetap menyelimutinya.
Di
sudut lain kelas, Rafael tampak sibuk dengan smartphone di bawah mejanya. Ia
sengaja menggunakan catatan jawaban yang telah ia siapkan untuk membantu menjawab
soal-soal sulit. Rafael berpikir ia aman, tetapi Pak Rozi segera mendekat dan
menangkap basah aksi curangnya.
“Rafael,
keluarkan ponselmu sekarang!” perintah Pak Rozi.
Rafael
mencoba menyangkal, namun akhirnya menyerah dan menyerahkan ponselnya. Ia tahu,
kesalahannya telah tertangkap tangan, dan tak ada lagi yang bisa ia lakukan
untuk menghindar.
Setelah
ujian usai, Pak Rozi menyerahkan smartphone yang disita ke ruang panitia. Di
sana, Pak Adien, ketua panitia ujian, dengan tenang membuat berita acara
penyitaan ponsel. Ia mencatat setiap nama pemilik ponsel. Karakternya yang
kalem dan bijaksana menjadi penyejuk di tengah situasi yang memanas.
“Seperti
biasa, ponsel ini hanya bisa diambil oleh orang tua siswa yang bersangkutan,”
ujar Pak Adien dengan tegas namun tetap lembut.
Lintang
merasa sangat bersalah. Sepulang sekolah, ia segera menceritakan kejadian itu
kepada ibunya. Sang ibu mendengarkan dengan penuh pengertian.
“Lintang,
kamu sudah melakukan hal yang benar dengan jujur. Ibu akan menemanimu ke
sekolah besok untuk mengambil ponselmu,” kata ibunya sambil tersenyum
menenangkan.
Berbeda
dengan Lintang, Rafael diliputi ketakutan. Ia tahu, ayahnya yang seorang polisi
akan sangat kecewa jika mengetahui perbuatannya. Tak sanggup mengakui
kesalahan, Rafael memutuskan mencari jalan pintas. Ia menyewa seorang pelayan
warung dekat sekolah untuk berpura-pura menjadi ibunya demi mengambil
smartphone itu.
Keesokan
harinya, pelayan warung tersebut datang ke ruang panitia. Dengan raut wajah
penuh keraguan, ia berkata, “Saya ibu Rafael, datang untuk mengambil ponsel
anak saya.”
Namun,
Pak Adien, dengan ketelitian dan insting yang tajam, merasa ada yang tidak
beres. Ia bertanya beberapa hal sederhana seperti nama lengkap Rafael dan
kelasnya. Ketika pelayan itu gugup dan tidak bisa menjawab, akhirnya ia mengaku
bahwa ia hanya diminta Rafael untuk berpura-pura. Perempuan itu pun bergeges
meninggalkan ruang guru dengan tampak wajah pucat ketakutan.
Pak
Adien menghela napas panjang dan segera memanggil Rafael ke ruangannya.
“Rafael,
kesalahanmu semakin besar. Kamu tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga
melibatkan orang lain untuk menutupi kesalahanmu. Apa yang kamu lakukan ini
sangat serius,” ujar Pak Adien dengan nada tegas namun tetap sabar.
Rafael
hanya menunduk tanpa berani membalas sepatah kata pun. Tak lama, ayahnya datang
setelah dipanggil oleh pihak sekolah. Wajah sang ayah menunjukkan kekecewaan
yang mendalam.
“Rafael,
Ayah selalu mendidikmu untuk bertanggung jawab atas perbuatanmu. Tapi ini? Ayah
sangat kecewa,” kata ayahnya dengan nada berat. Ia kemudian berpaling kepada
Pak Adien dan berkata, “Terima kasih sudah memberi tahu kami. Saya akan
memastikan Rafael belajar dari kesalahan ini.”
Sementara
itu, Bunga, seorang siswa lain yang juga ketahuan menggunakan smartphone untuk
menyontek, dengan santai mengakui kesalahannya kepada ayahnya. Ayah Bunga
adalah seorang pejabat yang menaungi SMA Angan-angan. Ia datang ke sekolah
dengan penuh percaya diri, seolah-olah masalah ini hanyalah hal sepele.
“Pak
Adien, ini cuma ponsel. Anak-anak seringkali khilaf. Saya harap ini bisa
diselesaikan dengan baik,” ujarnya dengan nada yang terkesan meremehkan.
Namun,
Pak Adien tetap tenang. “Aturan dibuat untuk mendidik, Pak. Bukan hanya soal
menyita ponsel, tetapi ini tentang tanggung jawab dan kejujuran,” jawabnya
dengan tegas.
Sikap
arogan ayah Bunga membuat suasana sedikit memanas. Namun, sesuatu yang tak
terduga terjadi. Bunga, yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara.
“Papa,
biarkan aku bertanggung jawab sendiri. Aku yang salah, bukan Papa,” katanya
dengan suara lirih namun penuh keyakinan.
Perkataan
itu membuat ayahnya terdiam. Ia akhirnya menyadari bahwa sikapnya justru memberikan
contoh buruk bagi putrinya. Dengan nada lebih tenang, ia meminta maaf kepada
pihak sekolah sebelum meninggalkan ruangan bersama Bunga.
Hari
itu menjadi pelajaran besar bagi semua yang terlibat. Setelah semua urusan
selesai, pihak sekolah mengadakan pertemuan refleksi di aula. Dalam suasana
yang masih diramaikan oleh suara hujan di luar, Pak Adien memberikan pidato
singkat yang penuh makna.
“Kejadian
ini mengingatkan kita bahwa kejujuran adalah dasar dari segala hal. Ketika kita
memilih jalan yang salah, kita bukan hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga
orang-orang di sekitar kita. Ingatlah, integritas adalah hal yang akan membawa
kalian menuju kesuksesan sejati.”
Pak
Haqi, dengan gaya khasnya, menambahkan, “Jangan biarkan hujan hari ini jadi
pengiring tangisan kalian di kemudian hari! Lebih baik basah karena belajar
daripada malu karena menyontek!”
Para
siswa tertawa kecil, tetapi pesan itu mengena di hati mereka. Lintang merasa
lega karena ia memilih untuk jujur, meskipun harus menghadapi situasi yang
sulit. Rafael menyadari bahwa kecurangan hanya membawa masalah yang lebih
besar. Bunga, dengan keberaniannya untuk bertanggung jawab, belajar bahwa
pengakuan atas kesalahan adalah langkah pertama menuju kedewasaan.
Hujan
deras masih mengguyur saat pertemuan itu usai. SMA Angan-angan, yang menjadi
saksi peristiwa tersebut, tetap berdiri kokoh di bawah guyuran air. Hari itu,
bukan hanya siswa yang belajar tentang arti kejujuran, tetapi juga para orang
tua yang diingatkan tentang pentingnya mendidik anak-anak mereka dengan
nilai-nilai moral yang benar.
Pesan moral cerita ini sederhana namun mendalam: kejujuran mungkin sulit di awal, tetapi ia akan selalu membawa kita pada akhir yang lebih baik. Tanpa kejujuran, prestasi hanyalah fatamorgana, dan keberhasilan sejati akan tetap menjadi mimpi yang jauh dari genggaman.[pgn]
0 Komentar