Jalan Sunyi Berujung Indah

 

Cerita pendek ini terinspirasi dari peristiwa nyata yang dicurhatkan murid saya kepada saya beberapa waktu yang lalu.

[Jombang, Pak Guru NINE] - Aku adalah seorang guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti di SMAN Angan-angan, sebuah sekolah favorit di tengah kota Bayangan. Di sinilah aku bertemu Dita, seorang murid yang selalu memegang teguh prinsip kejujuran. Dengan senyum yang tak pernah pudar, aku selalu menekankan kepada murid-muridku, "Nilai di rapor penting, tetapi nilai kejujuran jauh lebih bermakna untuk hidupmu."

Dita adalah murid yang aktif di Remaja Masjid di sekolah itu, dan semangat belajarnya luar biasa. Namun, akhir-akhir ini ia sering terlihat murung. “Pak Guru, saya sudah berusaha belajar keras, tetapi nilai saya selalu lebih rendah dari teman-teman yang curang saat ulangan,” curhatnya suatu hari.

Aku menatapnya penuh empati. “Dita, jangan biarkan penilaian manusia meruntuhkan prinsipmu. Ingat, kejujuran adalah cahaya yang tak akan pernah redup.”

Dita mengangguk, tetapi aku tahu, hatinya bergulat dalam dilema.

 

 

Di sisi lain, ada Nobita, murid yang dikenal sebagai bintang kelas. Sayangnya, aku mulai mendengar kabar dari beberapa siswa, termasuk Dita, tentang kebiasaan Nobita menyontek. Nobita pandai menyembunyikan aksinya. Bahkan, Suneo, salah satu provokator di kelas, sering menjadi “penggerak” aksi menyontek massal.

Dita, yang tak tahan dengan situasi ini, memutuskan untuk melapor kepada Bu Evelin, guru BK kami. Namun, laporan itu tidak mendapat respons yang memuaskan. “Dita, kamu harus punya bukti yang kuat,” kata Bu Evelin.

“Bu, apakah saya salah karena ingin kejujuran ditegakkan?” tanya Dita kecewa.

“Bukan begitu, Dita. Tapi kita harus hati-hati agar tidak salah tuduh.”

Jawaban itu membuat Dita semakin tertekan.

 

 

Keadaan makin memburuk saat ayah Dita, seorang pria yang keras, mengetahui nilai-nilainya yang di bawah standar. Dengan nada tinggi, ia memarahi Dita, “Kamu ini belajar apa saja? Kalau teman-temanmu bisa dapat nilai tinggi, kenapa kamu tidak?”

Dita menjawab pelan, “Mereka menyontek, Yah.”

Mendengar itu, ayahnya malah berkata, “Kalau begitu, kamu juga ikut saja menyontek! Tidak ada yang rugi kalau semua melakukannya.”

Namun, Dita menggeleng tegas. “Tidak, Yah. Saya lebih baik nilai saya rendah daripada harus curang.”

Keberanian itu membuat ayahnya terdiam, tapi tidak sepenuhnya puas.

 

 

Ketegangan mencapai puncaknya ketika ujian semester tiba. Aku yang menjadi pengawas ruang ujian mendapati suasana ruang ujian terlihat tenang, tetapi mata Dita berkali-kali mengarah ke Nobita dan Suneo. Ketika aku mendekati meja Nobita, aku melihat kertas kecil berisi jawaban terselip di bawah lembar soalnya.

“Nobita, apa ini?” tanyaku tajam.

Nobita terkejut, wajahnya pucat. Suneo yang duduk tak jauh darinya, tampak gelisah. Aku mengumpulkan kertas-kertas kecil itu sebagai barang bukti.

“Semua yang terlibat dalam kecurangan ini akan kami proses sesuai aturan,” kataku dengan nada serius.

Setelah ujian selesai, aku mengumpulkan Nobita dan Suneo di ruang BK. Dengan penuh penyesalan, Nobita mengakui kesalahannya. “Maafkan saya, Pak. Saya terlalu takut kehilangan peringkat saya.”

Aku mengangguk pelan. “Kejujuran itu sulit, Nobita, tapi harga diri jauh lebih berharga daripada nilai di atas kertas.”

 

 

Di akhir semester, nilai Dita tidak melesat drastis, tetapi ia bahagia dengan hasil jerih payahnya. Sebaliknya, Nobita, yang selama ini menjadi kebanggaan sekolah, harus menerima konsekuensi dari tindakannya. Ia dicoret dari daftar siswa berprestasi. Nobita menangis saat menerima surat itu.

“Pak, saya menyesal. Saya ingin berubah,” ucapnya suatu hari.

Aku tersenyum tipis. “Penyesalan itu awal dari perubahan, Nobita. Jadikan ini pelajaran untuk masa depanmu.”

 

 

Beberapa tahun kemudian, aku mendapat kabar membahagiakan. Dita, yang dulu kerap merasa tersisih karena mempertahankan kejujuran, kini menjadi seorang pengusaha sukses yang dikenal karena integritasnya. Ia sering memberi beasiswa kepada siswa dari latar belakang kurang mampu.

Sementara itu, Nobita juga belajar dari kesalahan masa lalunya. Kini ia menjadi pembicara motivasi yang mendorong generasi muda untuk mengutamakan kejujuran. Dalam setiap sesinya, ia mengingatkan, “Kecurangan hanya memberikan kemenangan sementara, tetapi kejujuran membawa kebahagiaan sejati.”

Aku bangga kepada mereka berdua. Kejujuran memang tidak mudah, tetapi saat dijalani dengan penuh keyakinan, ia selalu berbuah berkah dan kebahagiaan.[pgn]


Baca juga!

Kejujuran di Tengah Godaan Kecurangan


Posting Komentar

3 Komentar

  1. Ending cerita ini memang wow!!! Lanjutkan pak guru!

    BalasHapus
  2. Ceritanya kok relate banget dengan aku ya?

    BalasHapus
  3. Mas, saya baru tahu kalau Njenengan bisa nulis cerita semacam ini. Hehehe. Tapi apik kok maknanya.

    BalasHapus
Emoji
(y)
:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:P
:o
:>)
(o)
:p
(p)
:-s
(m)
8-)
:-t
:-b
b-(
:-#
=p~
x-)
(k)