Kolase kegiatan Monitoring dan Evaluasi (Monev) DP MUI Kecamatan di Masjid Darussalam Jombatan Kesamben Jombang |
[Jombang, Pak Guru NINE] - Dalam kapasitas saya
sebagai salah satu sekretaris Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (DP MUI)
Kabupaten Jombang, saya berkesempatan mendampingi Ketua Umum DP MUI Jombang,
Dr. KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi, Lc., MA., dalam agenda Monitoring dan Evaluasi
program kerja DP MUI Kecamatan sekabupaten Jombang (Sabtu, 23/11/2024).
Kegiatan ini berlangsung di wilayah kecamatan bagian utara Kabupaten Jombang
dan ditempatkan di Masjid Darussalam Jombatan, Kesamben, Jombang.
Acara dipandu dengan apik oleh Sekretaris Umum,
KH. Ilham Rohim, MHI, yang membuka sesi dengan arahan terkait keorganisasian.
Puncaknya adalah penyampaian kajian tafsir Al-Qur’an oleh Ketua Umum, yang
akrab disapa Gus Awis. Dalam sesi tersebut, beliau mengurai dengan gamblang
empat jenis ulama yang disebut dalam Al-Qur’an. Penjelasan ini membuka wawasan
dan memberikan nasihat yang berharga bagi kami semua, para peserta yang hadir.
Ulama Lebih dari Sebatas Identitas
Dalam organisasi seperti MUI, seseorang yang
menjadi pengurus sering dianggap sebagai ulama berdasarkan Surat Keputusan (SK)
yang mengangkat mereka. Namun, apakah hanya SK yang cukup untuk menyematkan
identitas ulama? Gus Awis mengingatkan bahwa seorang ulama sejati adalah mereka
yang memiliki ilmu dan akhlak mendalam tentang Al-Qur’an, hadis, dan syariat.
Beliau pun menyebut empat kategori ulama yang ada dalam Al-Qur’an: Rosikhuna
fil ilmi, Ulama Fitnah, Ulama Ummiyah, dan Ulama
Dholal.
1. Ulama Rosikhuna fil Ilmi:
Mereka yang Mendalam Ilmunya
Kategori pertama adalah Rosikhuna fil ilmi, yaitu
ulama yang memiliki kedalaman ilmu. Mereka dijelaskan dalam QS. Ali Imran [3]:
7, sebagai orang-orang yang memahami Al-Qur’an dengan hati yang tulus, tidak
tergesa-gesa dalam menafsirkan ayat, dan selalu mencari harmoni antar-ayat.
Ciri khas ulama ini adalah:
a) Tidak
sembarangan menafsirkan Al-Qur’an.
b) Mampu
melihat hubungan antar-ayat dengan penuh keselarasan.
c) Memahami
apa yang bermanfaat dan berbahaya bagi umat.
Seperti yang diingatkan QS. Al-Qashash [28]: 80,
ulama yang benar-benar berilmu selalu mengingatkan bahwa pahala Allah adalah
yang terbaik untuk orang-orang yang beriman dan beramal saleh.
2. Ulama Fitnah: Pengobar Keraguan
dan Kekacauan
Di sisi lain, QS. Ali Imran [3]: 7 juga
mengingatkan tentang ulama fitnah, mereka yang memiliki kecenderungan kesesatan
dalam hati. Mereka memilih ayat-ayat Al-Qur’an yang mutasyabihat (mengandung
makna ganda) untuk menimbulkan fitnah dan keraguan.
Ulama jenis ini memiliki ciri-ciri berikut:
a) Menggunakan
Al-Qur’an, tetapi dengan niat ingkar.
b) Mengaburkan
kebenaran dengan menebar keraguan.
Kehadiran mereka mengingatkan kita untuk selalu berhati-hati
dalam menerima informasi dan ajakan, terutama dari orang-orang yang tampaknya
memiliki pengetahuan agama tetapi tidak bertujuan untuk kebaikan.
3. Ulama Ummiyah: Pengetahuan
Minim, Pendapat Berani
Selanjutnya adalah ulama ummiyah, yang dijelaskan
dalam QS. Al-Baqarah [2]: 78. Mereka adalah orang-orang yang buta huruf secara
spiritual, memahami Al-Qur’an hanya sebatas angan-angan, dan cenderung
menduga-duga.
Ciri-ciri ulama ummiyah antara
lain:
a) Mengklaim
kebenaran atas nama Allah tanpa dasar ilmu.
b) Berani
menulis buku atau berbicara di media, tetapi tanpa pemahaman yang benar.
c) Menyebarkan
kebingungan di tengah umat.
Gus Awis juga menyebut beberapa contoh
penyimpangan kontemporer, seperti menghalalkan khamr dan riba, atau menafsirkan
hukum syariat dengan cara yang jauh dari semangat Al-Qur’an.
4. Ulama Dholal: Mereka yang
Sesat dan Menyesatkan
Kategori terakhir adalah ulama dholal, sebagaimana
disebutkan dalam QS. Al-A’raf [7]: 175-176. Mereka adalah orang-orang yang
telah diberikan ilmu, tetapi memilih untuk meninggalkannya demi hawa nafsu.
Perumpamaan mereka dalam Al-Qur’an seperti anjing yang tetap menjulurkan
lidahnya, baik ketika dihalau maupun dibiarkan.
Ciri khas ulama ini adalah:
a) Menjual
ilmu untuk keuntungan duniawi.
b) Mengikuti
hawa nafsu dan bukan kebenaran.
Mereka bukan hanya sesat, tetapi juga menyesatkan
umat. Kehadiran ulama jenis ini adalah ancaman serius bagi umat Islam, karena
mereka mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan.
Menjaga Integritas
Sebagai Ulama
Kajian Gus Awis ini menyadarkan kami semua tentang
pentingnya menjaga integritas sebagai ulama atau pemimpin agama. Menjadi ulama
tidak hanya soal gelar, tetapi juga tanggung jawab besar untuk menjaga
kemurnian ajaran Islam dan membimbing umat ke jalan yang benar.
Beliau juga mengingatkan bahwa tugas ulama tidak
hanya memahami agama secara mendalam, tetapi juga menyampaikan kebenaran dengan
cara yang penuh hikmah dan kasih sayang. Dalam dunia yang semakin kompleks ini,
umat membutuhkan ulama yang rosikhuna fil ilmi, bukan yang tergelincir dalam
fitnah, kebodohan, atau hawa nafsu.
Menjadi Muslim yang Kritis dan
Berhati-hati
Sebagai umat, kita juga diingatkan untuk lebih
kritis dalam memilih panutan. Jangan mudah terpesona dengan gelar atau
popularitas, tetapi lihatlah bagaimana seorang ulama berbicara, bertindak, dan
membimbing umat.
Semoga kita semua senantiasa berada di bawah
bimbingan ulama yang benar, yang mampu membawa kebaikan dan keberkahan bagi
umat. Sebab, hanya dengan ilmu yang benar dan hati yang tulus, kita bisa
menjadi bagian dari umat yang diridhai Allah SWT.
Diskusi dengan Gus Awis pada hari itu mengajarkan banyak hal, terutama tentang betapa berharganya ilmu yang benar dan tanggung jawab untuk menjaganya. Bagi saya, ini bukan hanya nasihat, tetapi juga panggilan untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Karena pada akhirnya, kita semua, baik ulama maupun umat, memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga agama ini tetap lurus dan membawa rahmat bagi semesta.[pgn]
0 Komentar