![]() |
Tiga juri sedang mengamati dan menilai penampilan peserta Lomba Debat Bahasa Indonesia. |
[Jombang,
Pak Guru NINE] - Secara tidak terencana, saya berkesempatan bertemu dan
berbincang dengan KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi, atau yang akrab disapa Gus
Awis, di ndalem beliau di lingkungan Asrama Hidayatul Quran Pondok Pesantren
Darul Ulum (PPDU) Peterongan (Jumat, 1/11/2024). Kunjungan saya sebenarnya
untuk mengantar keranjang ayam jago, atau kiso,
yang dibutuhkan oleh putri saya, Taliya Kayana, yang akan digunakan sebagai
properti untuk penampilannya dalam sebuah lomba.
Setelah
memasuki halaman asrama, saya melihat Gus Awis tengah berdiri di sana sambil
mengoperasikan handphonenya. Saya menghampiri, menyalami beliau, dan langsung
dipersilakan masuk ke ruang tamu ndalem. Saya kemudian menceritakan tujuan saya
datang untuk mengantarkan kiso untuk Taliya Kayana. Gus Awis pun tertawa kecil
menanggapi penjelasan saya tentang benda antik yang saya bawa itu.
Di
tengah obrolan, saya menyampaikan kabar gembira bahwa santri-santri PPDU dari
SMPN 3 Peterongan baru saja meraih beberapa prestasi membanggakan: Juara 1
Lomba Debat Bahasa Indonesia, Juara 1 Musabaqoh Sarhil Quran, Juara 1 Pemilihan
Dai Remaja (Pildaraja), dan Juara 1 Lomba Cerdas Cermat Islam. Sebagai salah
satu juri dalam lomba debat tersebut, saya merasa bahwa model kompetisi seperti
itu layak diadopsi, khususnya oleh Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
Kabupaten Jombang. Saya membayangkan lomba debat berbasis tema keagamaan yang
disesuaikan dengan konteks Jombang, agar anak-anak tidak hanya terampil
berbicara tetapi juga memiliki argumen yang logis dan relevan.
Tampaknya
Gus Awis justru tertarik untuk mengadopsi model debat ini di pesantrennya
sendiri. "Debat ini sangat berbeda dari bahtsul
masail yang biasa dilakukan para santri," terang saya.
"Dalam debat ini, peserta benar-benar diasah kemampuan berpikir kritis dan
argumentasinya, sementara bahtsul masail lebih fokus pada pemecahan masalah
berdasarkan hukum Islam melalui kajian turats kitab-kitab kuning."
Gus
Awis lalu bertanya bagaimana menentukan kubu pro dan kontra dalam sebuah debat.
Saya menjelaskan bahwa penentuan kubu dilakukan melalui undian, sehingga para
peserta harus siap dengan argumentasi yang logis baik sebagai pendukung maupun
penentang mosi yang akan dibahas. Selain itu, panitia harus menyiapkan beberapa
mosi debat yang netral dan tidak sensitif agar fokus diskusi tetap pada
argumen, bukan pada isu yang terlalu kontroversial atau personal.
Beliau
kemudian bertanya, “Bagaimana menentukan pemenangnya. Jangan-jangan sangat
subyektif?” Saya menjelaskan bahwa setiap lomba membutuhkan juri yang bisa
menilai berdasarkan kriteria tertentu, seperti kualitas argumen, ketajaman
analisis, kemampuan berbicara, kekuatan rebutan, kerja sama tim, serta
keterampilan persuasif.
Teknis
lomba debat yang pernah saya ikuti pun cukup menarik untuk dibahas. Debat
dimulai dengan dua tim, satu berada di kubu pro dan yang lainnya di kubu
kontra. Tim-tim ini kemudian akan menentukan posisi melalui suit, dan tim
pemenang berhak memilih kubu serta mengambil undian mosi. Debat terdiri dari
tiga sesi: paparan kubu pro dan kontra, sesi sanggahan, dan sesi konklusi.
Saya
menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam lomba debat Bahasa Indonesia yang saya
ikuti, ada beberapa kriteria penilaian yang bisa diadopsi. Kriteria ini menilai
aspek utama seperti kualitas argumen, keterampilan berbicara, dan kemampuan tim
dalam mempertahankan pendapat mereka. Misalnya, kualitas argumen menilai
seberapa logis, jelas, dan berbobot bukti yang disampaikan. Dalam ketajaman
analisis, tim diharapkan memiliki pemahaman yang mendalam tentang topik yang
dibahas, mampu memberikan analisis yang relevan, dan orisinal. Kemampuan
berbicara juga menjadi aspek penting, yang meliputi kejelasan suara, intonasi,
serta penggunaan bahasa yang baik dan benar.
Gus
Awis mendengarkan dengan seksama setiap kriteria yang saya jelaskan. Beliau
tampak setuju ketika saya menjelaskan bahwa kekuatan rebutan, atau kemampuan
membantah argumen lawan dengan logis dan elegan, menjadi kriteria utama dalam
menilai ketajaman berpikir peserta. Kesiapan tim dalam menanggapi argumen lawan
pun akan menonjolkan penguasaan mereka atas materi debat. Begitu pula dengan
kerja sama tim yang menunjukkan kekompakan dan pembagian peran yang efektif, di
mana setiap anggota tim harus mendukung satu sama lain dalam mempertahankan
argumen mereka.
“Menarik
sekali jika ini diterapkan di pesantren,” ujar Gus Awis. “Para santri akan
memiliki pengalaman baru dalam menguji logika dan argumen mereka, yang tentu
berbeda dari bahtsul
masail biasa.”
Selain
itu, saya juga menjelaskan tentang keterampilan persuasif yang harus dimiliki
oleh peserta debat, terutama dalam upaya mereka meyakinkan audiens atau juri.
Keterampilan ini bisa dilatih dan dikembangkan, sehingga para santri yang
terbiasa dengan debat akan memiliki kemampuan berbicara yang lebih terarah,
serta mampu berempati dan mengekspresikan pendapat mereka secara meyakinkan.
Diskusi kami mengalir begitu saja. Gus Awis melihat potensi besar dalam konsep lomba debat yang bisa membentuk santri untuk lebih berpikir terbuka dan kritis. Di akhir perbincangan, beliau menegaskan bahwa debat semacam ini bisa menjadi salah satu metode edukasi yang penting di pesantren, di mana santri tidak hanya belajar ilmu agama secara hafalan, tetapi juga memahami esensi argumen dan alasan di balik pendapat mereka.
Saya merasa bersyukur bisa berdiskusi tentang ide-ide inovatif ini dengan Gus Awis. Bagi saya, pertemuan yang awalnya hanya untuk mengantar keranjang ayam jago berubah menjadi sebuah dialog yang sangat inspiratif. Kami berdua sepakat bahwa santri yang terampil berargumen akan lebih siap menghadapi berbagai pandangan di dunia luar. Ini akan menjadi bekal penting, tidak hanya dalam kehidupan beragama tetapi juga dalam menjalani kehidupan sosial yang kompleks. Di tengah suasana ndalem yang tenang itu, saya pun berpamitan karena Taliya Kayana telah menunggu kiso itu di depan pintu gerbang asrama santri putri.[pgn]
0 Komentar