Ini adalah pertanyaan reflektif seorang guru yang tidak bisa dijawabnya sendiri secara spontan. |
[Jombang, Pak Guru NINE] - Hari Guru Nasional yang
diperingati setiap 25 November adalah momentum bagi setiap guru untuk refleksi
diri. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah mengusung tema “Guru Hebat,
Indonesia Kuat,” dalam memeringatinya. Melalui tema itu, kita diingatkan bahwa
kekuatan suatu bangsa tak lepas dari peran guru sebagai penyangga pendidikan
dan moral bangsa. Namun, bagaimana kita sebagai guru dapat menilai diri sendiri
sebagai "hebat"? Apakah dedikasi, pendekatan, dan kontribusi yang
saya lakukan sudah cukup untuk menyandang gelar itu?
Menjadi Pembina OSIS
Sebagai seorang guru Pendidikan Agama Islam dan
Budi Pekerti (PAIBP) di SMA Negeri 2 Jombang, peran saya selama ini tak hanya
terbatas pada kegiatan di kelas. Selama tahun pelajaran 2023/2024, saya
mendapat tugas tambahan sebagai Pembina OSIS yang membawahi beberapa kegiatan
ekstrakurikuler, termasuk Bola Basket, Kempo, Teater, dan Kelompok Studi Pasar
Modal (KSPM) Galeri Investasi Edukasi Bursa Efek Indonesia (GIE BEI). Meskipun
saya tidak memiliki kecakapan khusus di setiap bidang tersebut, saya berusaha
menjalankan tugas manajerial itu dengan sebaik mungkin. Dengan komunikasi yang
harmonis dan terbuka, saya menjaga kordinasi dengan para siswa agar kegiatan
berjalan lancar dan mereka merasa nyaman dalam mengembangkan diri melalui
kegiatan ekstrakuler tersebut.
Namun, apakah tanggung jawab itu cukup membuat
saya layak disebut “guru hebat”? Refleksi ini membawa saya untuk mengevaluasi
lebih dalam; apa sebenarnya yang membuat seorang guru menjadi “hebat”? Apakah
hanya dengan memenuhi tugas formal atau menyelesaikan tanggung jawab di luar
batas bidang keahlian kita? Bagaimana sikap kita dalam menghadapi tantangan?
Dalam pengalaman saya, kepemimpinan saya sebagai Pembina OSIS ternyata
memperkuat keterampilan manajerial saya, dan, yang terpenting, membangun
kedekatan emosional dengan siswa. Setiap upaya untuk memahami kebutuhan mereka
dan menfasilitasi keinginan mereka dalam belajar dan berkegiatan, bagi saya
adalah wujud kehebatan yang tak terukur.
Menjadi Wali Kelas XI-4
Tahun pelajaran 2024/2025 ini membawa perubahan
dalam peran saya; kini saya mengemban tugas sebagai Wali Kelas XI-4. Tanggung
jawab baru ini memberikan kesempatan lebih untuk menjalin hubungan yang lebih
personal dengan siswa di kelas. Saya membuat grup WhatsApp khusus untuk kelas
ini sebagai media komunikasi dua arah. Saya berupaya setiap hari mengunjungi
mereka, bahkan jika hanya untuk sekadar menyapa. Saat mengajar mata pelajaran
PAIBP, saya selalu memberi kesempatan bagi siswa untuk menyampaikan usul,
pertanyaan, atau keluh kesah. Setelah itu, barulah saya mulai pembelajaran
sesuai kurikulum.
Dalam interaksi sehari-hari ini, ada kalanya saya
merasa perlu menunjukkan ketegasan kepada mereka. Misalnya, ketika kelas tidak
mendukung duta yang mereka pilih sendiri dalam Projek Penguatan Profil Pelajar
Pancasila (P5), atau saat tidak ada satu pun siswa yang merespons pesan penting
di grup WhatsApp. Dalam dua momen tersebut, saya terpaksa menyampaikan teguran,
dengan harapan mereka memahami arti dari kekompakan dan tanggung jawab dalam
komunikasi.
Pendekatan ini membuat saya merenung, apakah
kedekatan emosional ini cukup membuat saya layak disebut “hebat”? Saya merasa
bahwa kehebatan seorang guru tidak hanya terletak pada kemampuan mengajar, tapi
juga dalam memberikan teladan kedisiplinan, kepedulian, dan pengembangan
karakter. Sebagai guru PAIBP, saya mengedepankan nilai-nilai keislaman dalam
penilaian saya, namun saya juga memastikan bahwa pembelajaran menyenangkan dan
memberi manfaat bagi siswa. Pembelajaran yang membahagiakan baik bagi guru
maupun murid adalah prinsip saya.
Menjadi Guru PAIBP
Sebagai guru Pendidikan Agama Islam, saya berusaha
menciptakan lingkungan yang inklusif di dalam kelas. Dalam setiap pertemuan
awal, saya menjelaskan model pembelajaran yang akan saya terapkan, termasuk
penggunaan platform digital dan media sosial sebagai bagian dari proses
belajar. Selain itu, saya menekankan bahwa penilaian tidak semata-mata
berdasarkan aspek akademik, tetapi juga mencakup partisipasi dalam kegiatan
keislaman yang ada di sekolah.
Saya menyadari bahwa keberagaman agama di sekolah
mengharuskan pendekatan yang inklusif. Siswa non-Muslim yang memiliki waktu
kosong diperbolehkan mengikuti kelas saya atau belajar mandiri. Bagi saya,
keterbukaan terhadap semua siswa, tanpa memandang latar belakang agama,
merupakan bagian dari upaya menjadi guru hebat yang dapat mendidik dengan adil
dan penuh empati. Pembelajaran yang saya lakukan bukan hanya soal penyampaian
materi, tetapi juga bagaimana menciptakan suasana yang ceria dan menyenangkan
agar siswa merasa nyaman untuk belajar.
Selain itu, saya juga memanfaatkan platform
digital dan media sosial sebagai bagian dari metode pembelajaran. Saya percaya
bahwa akses ke teknologi harus digunakan sebaik-baiknya dalam pendidikan. Saya
pun membuka komunikasi dengan wali murid kelas XI-4 agar hubungan antara
sekolah dan keluarga siswa lebih harmonis dan saling mendukung. Dengan cara
ini, saya berharap bisa memberikan dampak positif yang lebih luas, tidak hanya
bagi siswa, tapi juga bagi keluarganya.
Menjadi
Guru Penggerak
Sejak awal karir, semangat untuk menjadi penggerak
telah mengakar dalam diri saya. Sebagai kader Penggerak Nahdlatul Ulama (NU),
saya telah menyelesaikan Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PKPNU) dan
Pendidikan Dasar Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PD PKPNU). Keikutsertaan ini
melengkapi peran aktif saya dalam berbagai organisasi, baik di tingkat desa,
kecamatan, hingga kabupaten.
Di desa kelahiran saya, Pacarpeluk, saya telah
lama menjadi motor penggerak dalam berbagai kegiatan keagamaan dan sosial.
Selama 17 tahun, saya dipercaya sebagai Ketua Takmir Masjid Baitul Muslimin
Dusun Peluk, dan saya juga pernah memimpin Karang Taruna SINERGI, membina
pemuda untuk berkontribusi nyata bagi masyarakat. Kepercayaan ini terus
berlanjut dengan amanah sebagai Ketua Pengurus Ranting NU Pacarpeluk selama dua
periode berturut-turut, sebagai Ketua LAZISNU PCNU Jombang serta posisi
strategis di Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (DP MUI) Kabupaten Jombang
sebagai salah satu sekretaris untuk periode
2024-2029.
Tidak hanya aktif dalam organisasi, saya juga
terlibat langsung dalam pemberdayaan masyarakat. Saya mempelopori gerakan
Pacarpeluk Bersedekah dan Gerakan Bahagia Bersama Tetangga, yang membawa
semangat kedermawanan dan kebersamaan ke tengah masyarakat. Upaya ini diakui
secara nasional ketika saya terpilih sebagai Local Champion Yayasan Astra Honda
Motor dan Astra Internasional dalam pemberdayaan masyarakat. Semua pengalaman
ini menjadi bukti rekam jejak saya adalah seorang penggerak, sebelum resmi ditetapkan
sebagai Guru Penggerak.
Pada tanggal 27 Mei 2024, perjalanan ini mencapai
tonggak baru ketika saya ditetapkan sebagai Guru Penggerak Angkatan 9. Status
resmi ini membuka lebih banyak kesempatan untuk berbagi praktik baik yang telah
lama saya terapkan. Beberapa momen penting adalah saat saya berbagi praktik
baik di SD Islam Roushon Fikr Jombang tentang penyelenggaraan Pembelajaran
Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila.
Tidak hanya itu, saya juga berbagi pengalaman
memanfaatkan media online dalam pembelajaran melalui acara "Pojok
Tamu" di Suara Jombang FM. Kegiatan ini menegaskan peran saya sebagai
inovator pendidikan di era digital. Dalam berbagai forum, seperti workshop MGMP
PAI SMA Kabupaten Jombang dan pelatihan PC PERGUNU Kabupaten Jombang, saya
menginspirasi para guru untuk mengintegrasikan teknologi, termasuk kecerdasan
buatan (AI), dalam modul ajar dan perangkat penilaian pembelajaran.
Dengan semua pengalaman ini, saya tidak hanya
menjadi Guru Penggerak resmi, tetapi telah lama menjadi penggerak dalam
berbagai khidmat kemasyarakatan. Bagi saya, menjadi penggerak adalah panggilan
jiwa, sebuah tanggung jawab untuk terus memberikan yang terbaik bagi dunia
pendidikan dan masyarakat luas.
Pengalaman ini tak hanya memperkaya interaksi
sosial saya, tapi juga memberi wawasan yang dapat saya bawa ke dalam kelas.
Dengan memberikan contoh langsung dari kegiatan kemasyarakatan, saya ingin
siswa melihat pentingnya kontribusi terhadap komunitas, bahwa pendidikan dan
pengabdian tak hanya terbatas pada ruang kelas.
Apakah ini berarti saya sudah layak dianggap
sebagai "guru hebat"? Tentu pertanyaan ini tidak dapat saya jawab
sepenuhnya. Kehebatan guru adalah sesuatu yang tidak selalu terlihat dalam
indikator prestasi, tetapi lebih pada dampak jangka panjang yang diberikan
kepada murid dan lingkungan sekitar. Guru hebat adalah guru yang terus belajar,
berusaha memahami, dan memberi teladan, bukan hanya sekadar “mengajar.”
Refleksi
Momen refleksi Hari Guru Nasional ini membuat saya
sadar bahwa predikat "guru hebat" tidak semata-mata datang dari luar,
namun dari dalam diri sendiri: kejujuran terhadap tujuan kita dalam mengajar,
ketulusan dalam berkontribusi, dan keteguhan dalam menuntun siswa menuju
pembelajaran yang bermakna. Jika saya terus mempertahankan nilai-nilai
tersebut, mungkin di mata murid dan masyarakat, saya sudah menjadi seorang guru
hebat. Bagi saya, “hebat” adalah proses, bukan tujuan. Setiap hari adalah
kesempatan untuk menjadi lebih baik, lebih peduli, dan lebih inspiratif,
sejalan dengan upaya membangun Indonesia yang kuat melalui pendidikan yang
berintegritas.
Maka, dengan sepenuh hati, saya mungkin belum
dapat mengatakan bahwa saya adalah seorang guru hebat. Tapi, setiap hari adalah
perjalanan menuju ke arah itu—menjadi guru yang lebih baik, lebih
menginspirasi, dan lebih tulus dalam mendidik generasi penerus bangsa.[pgn]
0 Komentar