![]() |
Semoga Allah mengampuni segala dosanya dan menempatkannya dalam tempat terindah di sisiNya. Aamiin. |
[Jombang, Pak Guru NINE] - Selasa, 24 September
2024, adalah hari yang penuh duka bagi keluarga besar kami. Sekitar pukul 08.15
WIB, Budhe Hj. Ainun Jariyah, atau yang lebih akrab kami panggil Budhe Nun,
menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jombang. Beliau
telah menjalani perawatan medis selama lebih dari dua pekan di sana, setelah
sebelumnya sempat dirawat di Rumah Sakit Islam (RSI) Jombang. Kondisi kesehatan
Budhe Nun memang sudah menurun selama beberapa waktu, dan meski ada saat-saat
di mana beliau tampak lebih baik, kesehatannya terus melemah hingga akhirnya
beliau dipanggil Sang Khalik.
Saya bersama istri, Bapak, dan Ibu, sempat
menjenguk Budhe Nun di kedua rumah sakit tersebut. Saat kami berkunjung, beliau
masih mampu memberikan respon, walau kondisinya fluktuatif. Ada kalanya Budhe
Nun tampak lebih kuat, dan di lain waktu beliau terlihat lemah. Namun, setiap
momen yang kami lalui bersama Budhe Nun di rumah sakit tersebut selalu membawa
kenangan tersendiri. Kami melihat beliau bertahan dengan tegar, meskipun
kondisinya tidak lagi stabil.
Budhe Nun adalah istri dari almarhum Pakdhe H.
Masbuchin, yang telah lebih dulu meninggal dunia pada Selasa, 4 Desember 2012.
Pakdhe Masbuchin, yang biasa kami panggil Pakdhe Bu, adalah kakak kandung dari
ibu saya, Dewi Alfiyah. Sosok Pakdhe Bu selalu dikenal sebagai pribadi yang
fanatik dalam beragama, seorang santri yang sangat mendalami ajaran Islam dan
menjadi teladan bagi kami semua. Pakdhe dan Budhe ibarat orang tua kedua bagi
kami, terutama bagi tiga saudara perempuan saya, Ririn Eva Hidayati, Nia Erva
Zuhriyah, dan Rista Farida, serta sepupu saya, Yani Rahmawati.
Neng Ririn, Dek Nia, Dek Rista, dan Dek Yani
pernah mondok di rumah Pakdhe dan Budhe di desa Sentul, Tembelang, Jombang,
ketika mereka bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Nidhomiyah Praja Putra Sentul.
Setiap hari mereka belajar di madrasah itu dan bermalam di rumah Pakdhe dan
Budhe. Saya sendiri tidak mondok di sana; saya tinggal bersama Bapak dan Ibu di
rumah kami di Pacarpeluk dan bersekolah di SD Negeri 2 Pacarpeluk. Meski
begitu, kenangan akan kebersamaan dengan Pakdhe dan Budhe selalu dekat di hati,
terlebih ketika kami sering berkunjung ke Sentul.
Ketika saya menikah dengan istri saya, Hikmatun
Ni'mah, dan belum dikaruniai anak, Pakdhe Bu adalah salah satu orang yang
memberi kami saran untuk ikhtiar kehamilan. Sebagai tokoh spiritualis yang
dihormati, banyak orang datang kepada Pakdhe Bu untuk meminta nasihat dan doa.
Kami menjalankan ikhtiar dari beberapa pihak, termasuk dari saran Pakdhe Bu,
dan alhamdulillah, tidak lama setelah itu, istri saya hamil anak pertama kami.
Putra pertama kami, Caraka Shankara, lahir dengan selamat pada 26 Februari
2008, dan sejak saat itu, kami sering mengajaknya berkunjung ke rumah Pakdhe
dan Budhe di Sentul. Caraka mengenal mereka sebagai Mbah Abu dan Mbah Nun.
Ketika Caraka lulus dari SD Islam Roushon Fikr,
kami memondokkannya di Pondok Pesantren Hidayatul Quran, yang diasuh oleh putra
Pakdhe Bu, ustadz Yusuf Hidayat. Menariknya, saya melihat ada banyak kemiripan
antara Caraka dan Pakdhe Bu. Putra pertama kami ini sangat menyukai pencak
silat dan kanuragan, sesuatu yang juga sangat diminati oleh Pakdhe Bu yang
memang dikenal sebagai seorang pendekar. Selain itu, Caraka juga gemar memelihara
ayam, hobi yang juga dimiliki oleh Pakdhe Bu.
Caraka pernah bercerita bahwa selama ia mondok di
Pondok Pesantren Hidayatul Quran, ia beberapa kali tertidur di sekitar makam
Pakdhe Bu, dan bahkan pernah bermimpi bertemu dengan almarhum. Meskipun
kisahnya ini terdengar mistis, kami menghargai betapa dekatnya Caraka dengan
sosok Pakdhe Bu, baik secara fisik maupun emosional.
Budhe Nun juga memberikan perhatian khusus kepada
Caraka selama ia mondok di sana. Setiap hari, Budhe Nun selalu memberikan Caraka
telur ceplok sebagai tambahan lauk makan. Telur ceplok memang makanan favorit
Caraka, dan perhatian kecil dari Budhe Nun ini menunjukkan betapa sayangnya
beliau kepada cucu-cucunya.
Sayangnya, setelah dua setengah tahun belajar di
pondok, Caraka memutuskan untuk boyong dan melanjutkan pendidikannya di luar
pondok. Namun, kedekatan antara Caraka dan Budhe Nun tetap terjalin. Ketika
Budhe Nun dirawat di RSI Jombang, Caraka sempat menjenguknya dan masih bisa
berkomunikasi dengannya. Budhe Nun masih mampu merespon sapaan Caraka meskipun
kesehatannya sudah menurun drastis.
Saat kabar duka tentang wafatnya Budhe Nun sampai
ke saya melalui mbak Lilik Roihanah, saya dan istri segera menuju RSUD Jombang.
Saat itu, jenazah Budhe Nun masih berada di rumah sakit ketika kami tiba. Kami
kemudian mengabari seluruh keluarga, dan meminta Caraka untuk mengantar ibu ke
rumah duka di Sentul, sementara ia sendiri harus berangkat ke sekolah untuk
mengikuti Penilaian Tengah Semester di SMAN 2 Jombang.
Setelah ujian selesai, Caraka kembali ke rumah
duka di Sentul untuk ikut menyalati dan menguburkan jenazah Budhe Nun. Dengan
masih mengenakan seragam sekolahnya, Caraka ikut dalam prosesi pemakaman dan
membantu mengurukkan tanah dengan sekop. Hujan lebat mengiringi prosesi
pemakaman, mengingatkan saya pada momen serupa ketika Pakdhe Bu dimakamkan.
Keduanya meninggal pada hari Selasa, dalam perawatan di rumah sakit yang sama,
dan dikuburkan berdampingan di tempat yang sama, diiringi hujan deras.
Kenangan ini memberikan harapan bahwa hujan yang turun adalah alamat kebaikan bagi Pakdhe Bu dan Budhe Nun. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa mereka dan menempatkan keduanya di tempat terbaik di sisi-Nya. Aamiin. [pgn]
0 Komentar